Kamis 07 Sep 2023 18:59 WIB

Walhi: Enam Warga Ditangkap, Puluhan Luka-Luka Usai Bentrok dengan Aparat di Pulau Rempang

Warga Pulau Rempang menolak direlokasi digusur menyusul proyek Rempang Eco-City.

Rep: Bambang Noroyono, Antara/ Red: Andri Saubani
Sejumlah warga melakukan aksi pemblokiran jalan di jembatan empat Rempang, Galang, Batam, Kepulauan Riau, Senin (21/8/2023). Pada Kamis (7/9/2023) terjadi bentrok antara warga dan aparat.
Foto: Antara/Teguh Prihatna
Sejumlah warga melakukan aksi pemblokiran jalan di jembatan empat Rempang, Galang, Batam, Kepulauan Riau, Senin (21/8/2023). Pada Kamis (7/9/2023) terjadi bentrok antara warga dan aparat.

REPUBLIKA.CO.ID, BATAM — Sedikitnya enam warga ditangkap dan puluhan masyarakat biasa lainnya mengalami luka-luka serius menyusul bentrokan dengan aparat karena menolak relokasi di kawasan Pulau Rempang, Batam, Kamis (7/9/2023). Bentrok antara masyarakat dan pasukan keamanan gabungan Korps Angkatan Laut Tentara Nasional Indonesia (TNI-AL) dan Polri itu, juga mengakibatkan beberapa anak-anak sekolah dasar dilarikan ke posko-posko medis lantaran terkena serangan gas air mata.

Direktur Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Zenzi Suhadi dalam siaran pers menerangkan, bentrokan antara warga dan aparat gabungan tersebut, berawal dari aksi penolakan relokasi dan penggusuran terhadap kelompok masyarakat adat Kampung Melayu Tua di Pulau Rempang. Para warga selama ini menolak Program Strategis Nasional Kawasan Rempang Eco-City di tanah adat Melayu Tua yang sudah menetap sejak 1834.

Baca Juga

Program nasional tersebut, dinilai mengancam keberadaan ribuan anggota masyarakat adat dari 16 suku Melayu Tua di kawasan tersebut, yang akan digusur paksa.

“Hari ini (siang tadi), sekitar jam 10, aparat keamanan memicu bentrokan dengan memaksa masuk untuk melakukan pemasangan patok tata batas dan cipta kondisi,” kata Zenzi.

Walhi bersama 78 Lembaga Bantuan Hukum Indonesia selama ini melakukan pendampingan terhadap warga yang menjadi target penggusuran atas proyek nasional tersebut. Zenzi mengatakan, aksi pasukan gabungan yang menerobos masuk kawasan warga tersebut, dituding sebetulnya untuk melakukan penggusuran paksa para warga.

“Karena sedari awal tujuannya adalah untuk menggusur paksa warga dari tanah adatnya, maka kegiatan tersebut mendapat penolakan dari warga. Kegiatan tersebut merupakan pemantik bentrokan berdarah yang mengakibatkan paling tidak enam orang warga ditangkap dan puluhan warga mengalami luka-luka karena diserang, dan anak-anak sekolah mengalami luka-luka akibat gas air mata,” terang Zenzi. 

“Peristiwa bentrokan berdarah ini, merupakan tanggung jawab pimpin BP Batam, Kapolda Kepulauan Riau, Kapolrestabes Barelang, Komandan Palinglam TNI AL-Batam,” kata Zenzi melanjutkan.

 

 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement