REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengungkapkan, ketersediaan pasokan etanol sebagai bahan baku campuran untuk memproduksi bensin ramah lingkungan menjadi salah satu kendala yang dihadapi Pertamina.
Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi, Kementerian ESDM, Tutuka Ariadji, menjelaskan, ketersediaan etanol yang diperoleh dari molases tebu untuk produksi bahan bakar minyak biogasoline seperti Pertamax Green tak sebesar pasokan minyak sawit yang dipakai untuk memproduksi biodiesel. Hal itu membuat perlu adanya alternatif bahan baku untuk mendapatkan etanol.
“Etanol itu bahannya dari tebu, kalau sawit kita punya banyak. Bicara internasional, biodiesel kita sangat terkenal, tapi kalau bioetanol (biogasoline) kita punya lahan tidak sebesar sawit, itu yang harus kita perhitungkan, harus realistislah,” kata Tutuka saat ditemui dalam gelaran Indonesia Sustainibility Forum di Jakarta, Kamis (7/9/2023).
Tutuka mengatakan, produksi etanol sebetulnya tidak hanya berasal dari tebu. Namun, banyak komoditas pertanian lainnya yang bisa diolah lebih lanjut untuk menjadi etanol.
Hanya saja, masih diperlukan penelitian lebih lanjut untuk menemukan alternatif etanol. Tutuka mengatakan, pengembangan alternatif etanol nantinya akan ditangani langsung oleh Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi, Kementerian ESDM.
Pada kesempatan yang sama, Direktur Utama Pertamina, Nicke Widyawati menyebut, ada sejumlah komoditas yang tengah dikaji oleh Pertamina untuk menghasilkan etanol selain tebu. Di antaranya, singkong, sorgum, jagung, hingga sampah berupa limbah tanaman.
“Semua limbah tanaman bisa diproses, sedang dikaji,” kata Nicke.
Ia menekankan, penggunaan campuran etanol untuk pembuatan biogasoline seperti Pertamax Green 95 yang telah diluncurkan punya banyak manfaat. Selain emisi yang lebih rendah dan menggunakan bahan bakar terbarukan, Pertamina juga dapat berhemat dalam importasi minyak.
Di sisi lain, ia mengatakan, para petani yang bergerak di komoditas perkebunan juga akan ikut merasakan manfaatnya. Sebab, kebutuhan etanol yang makin besar ke depan untuk produksi BBM ramah lingkungan akan membuka peluang usaha baru.
Sementara itu, dirinya pun mengharap pemerintah untuk menghapus aturan cukai etanol demi mendukung pengembangan BBM lingkungan dengan campuran etanol dari molases tebu agar biaya yang dikeluarkan jadi lebih efisien.
Selain meminta pembebasan cukai etanol, Nicke juga memohon agar pemerintah membebaskan pajak impor. Sebab, sejauh ini sebagian etanol yang digunakan Pertamina dalam pencampuran BBM disuplai dari impor. Itu lantaran kemampuan produksi etanol dalam negeri yang belum mencukupi sepenuhnya.
“Untuk sementara ini, (etanol) belum penuhi produksi dalam negeri, kita minta ada pembebaasan pajak impor,” katanya.
Ia mencatat, saat ini rata-rata kemampuan produksi etanol dalam negeri masih sekitar 30 ribu kiloliter (KL) per tahun. Produksi itu pun hanya dilakukan oleh PT Energi Agro Nusantara, anak usaha BUMN Perkebunan PT Perkebunan Nusantara (Persero).
Lantaran keterbatasan produksi etanol, itu sebabnya Pertamina saat ini baru mampu menyediakan Produk Pertamax Green 95 di Jakarta dan Surabaya yang menjadi tempat produksi etanol.