Rabu 20 Sep 2023 07:28 WIB

Kisah Komunis di Ranah Minang

Saalah Jusuf Sutan Mangkuto: Penghalau Kuminih dari Nagari Pitalah

Rep: Muhammad Subarkah/ Red: Partner
.
Foto: network /Muhammad Subarkah
.

Sumatera Thawalib Padang Panjang tempo dulu. Di sinilah tempat awal tumbuhnya gerakan kiri di Minangkaba . Foto: Dok. Perguruan Thawalib.
Sumatera Thawalib Padang Panjang tempo dulu. Di sinilah tempat awal tumbuhnya gerakan kiri di Minangkaba . Foto: Dok. Perguruan Thawalib.

oleh: Fikrul Hanif Sufyan, pemerhati, pengajar, dan penulis sejarah

Setidaknya, jelang meletusnya peristiwa Silungkang pada 1 Januari 1927, sekurangnya hanya dua orang yang menjadi musuh utama dari Komunis (Kuminih, orang Minang sebut) di Minangkabau, yakni Haji Abdul Karim Amrullah atau akrab disapa Haji Rasul, HAKA, dan Inyiak De eR. Tokoh lainnya adalah Saalah Jusuf Sutan Mangkuto.

Bila Haji Rasul telah berhadapan dan berdiskusi keras dengan murid kesayangannya – yang juga menjadi ideolog dari Kuminih, leader dari Sarekat Rakyat Padang Panjang, yakni Haji Ahmad Khatib gelar Datuk Batuah.

Berbeda kisahnya Saalah Jusuf Sutan Mangkuto. Meskipun tokoh ini mungkin tidak terkenal dalam sejarah nasional, peneliti seperti Taufik Abdullah, Murni Djamal, Deliar Noer, dan Audrey Kahin sering berbicara tentangnya.

Nama Saalah, turut disebut-sebut oleh ulama sekelas Hamka dalam beberapa karyanya-terutama yang berhubungan dengan gerakan Islam Modernis dan Muhammadiyah di Minangkabau.

Laki-laki kelahiran Nagari Pitalah, Afdeling Batipuh X Koto tahun 1901 itu, memang dikenal pemberani, dan sudah putus urat takutnya berhadap-hadapan dengan kelompok Kuminih di kampung halamannya.

Pada masa itu, perjuangannya cukup berat, untuk sekadar mengalihkan nama Perkumpulan Tani – yang telah ia bentuk menjadi Muhammadiyah Cabang Padang Panjang. Ranah kelahirannya itu adalah basis kedua dari kekuatan merah – yang digawangi oleh Arif Fadhilah – seorang redaktur surat kabar Djago! Djago! dan anggota Sarekat Rakyat.

Selain dimusuhi Kuminih, Saalah turut dibenci oleh otoritas adat Pitalah dan ulama tradisional dari Tarekat Syattariyah. Namun, Saalah tetap bergeming.


Kisah konfrontatifnya dengan Kuminih dimulai, setelah ia kembali dari tanah Jawa pada Juli 1925. Saalah demikian namanya akrab disapa, segera mendirikan Perkumpulan Tani di Nagari Pitalah pada Agustus 1925.

Saalah dinilai berani mengambil risiko besar, mengingat Nagari Pitalah merupakan basis groep Sarekat Rakyat Padang Panjang. Termasuk menjadi basis kekuatan dari Sarekat Hitam dan Sarekat Djin yang dipimpin seorang perempuan asal Pitalah, yakni Oepik Itam.

Ia telah mempelajari hadirnya Muhammadiyah lewat Congres ke-14 di Yogyakarta, berkeinginan untuk merintis persyarikatan serupa, di Pitalah, kampung halamannya. Alih-alih direstui, keinginannya untuk mengubah nama Perkumpulan Tani malah ditentang habis-habisan oleh otoritas adat lokal.

Mereka ingin perkumpulan itu, langsung di bawah lembaga adat Pitalah. Seluruh kegiatan dari Perkumpulan Tani dipusatkan di masjid nagari Pitalah. Untuk mengurus izin penggantian nama, Saalah harus melalui urusan yang berbelit, mulai dari penghulu nagari, ulama Naqsyabandiyah, dan guru-guru agama.

Intrik penolakan terhadap embiro Muhammadiyah Cabang Padang Panjang, sebenarnya sudah terendus. Ketika kepala nagari Pitalah menyampaikan penolakan mereka kepada Asisten Residen Padang Panjang pada November 1925. Mereka menolak, bila Perkumpulan Tani berada di luar kontrol kepala nagari Pitalah.

Setelah kepala nagari menghadap, tanggal 2 Desember 1925, giliran majelis nagari Pitalah mengeluarkan putusan. Isinya pun tidak tanggung-tanggung, ”Perkumpulan Tani dan Muhammadiyah dibubarkan. Tabligh agama bisa diadakan kapan saja di masjid. Izin yang tersedia diberikan oleh sidang Jumat dan ulama.”.

Usut punya usut, hambatan utama berasal dari kelompok Sarekat Rakyat – yang telah berkecambah di Nagari Bungo Tanjuang dan Pitalah. Kebulatan tekad, untuk menolak hadirnya Muhammadiyah kemudian disetujui ulama Syattariyah dan pemuka masyarakat pada tanggal 28 Januari 1927.


Sementara itu, pemerintah masih sibuk menyelesaikan persoalan peristiwa Silungkang (Mailrapport 523x/27). Penolakan otoritas adat, ulama tradisional tentu bisa dipahami, karena hadirnya persyarikatan dianggap ancaman serius.

Saalah tetap bergeming. Ia tidak peduli atas penolakan itu. Pada Juni 1926 Saalah, DatukSati, dan dua pimpinan Tabligh Muhammadiyah—mengalihkan organisasi Perkumpulan Tanimenjadi Cabang Padang Panjang (Sufyan, 2022). Ditolak di Pitalah, Saalah pun meresmikan berdirinya persyarikatan di kediaman Haji Rasul, di Gatangan Padang Panjang.

Dua hari kemudian, Padang Panjang diguncang gempa Juni 1926. Muhammadiyah sedari awal berdiri, telah menegaskan dirinya tidak berafiliasi pada kekuatan Kuminih. Voorzitter Cabang Padang Panjang yang pernah bekerja sebagai penasehat Ketua CSI Abdul Muis itu, memang piawai berpolitik.

Pilihannya itu, segera menjadi ancaman serius untuk kekuatan Kuminih yang makin tidak terbendung di Sumatra Barat. Ia dicap menjadi penentang utama dari gerakan perlawanan kiri – yang akan melancarkan revolusi pada 16 November 1926 dan awal Januari 1927 (Sufyan, 2021).

Memasuki akhir November 1926, Saalah berniat melebarkan persyarikatan di Nagari Labuah. Di tangannya, telah beberapa groep telah berdiri dan menjadi bagian dari Cabang Padang Panjang.

Controleur Veen mencium gelagat buruk. Ia meminta Saalah untuk menghentikan rencana-nya. Meskipun Veen tahu, Saalah merupakan seorang anti Kuminih, namun ia khawatir dengan asal daerahnya yang menjadi basis “merah”.

Veen memang khawatir dengan Saalah yang kerap berseberangan dengan Asisten Residen Padang Panjang Winkelman. Ia bisa saja cuci tangan, dan meminta segera meminta surat rekomendasi dari Dewan Nagari Pitalah dan Labuah (Mailrapport 524x/’27).

Pasca kunjungan de Graeff ke Sumatera Barat, petinggi Hindia Belanda–terutama di Padang Panjang menaruh kecurigaan besar terhadap gerakan Kaum Muda. Residen Arndt memerintahkan kepada seluruh Asisten Residen dan Controleur, untuk mengawasi secara ketat pergerakan persyarikatan di daerahnya masing-masing.


Arndt kemudian mengeluarkan instruksi kepada seluruh bawahannya, untuk menghentikan surat izin berbadan hukum kepada Muhammadiyah, termasuk Cabang Padang Panjang. Namun instruksi Arndt dimaknai berbeda oleh bawahannya.

Asisten Residen Padang Panjang Winkelman setuju dengan instruksi Residen Sumatera Barat. Ia menaruh curiga sisa-sisa Communisten dari kalangan murid-murid Sumatra Thawalib–yang bergabung di Muhammadiyah Cabang Padang Panjang.

Asisten Residen Tanah Datar Karsen mempunyai pandangan berbeda dari rekannya di Padang Panjang. Ia malah tidak setuju perlakuan terhadap anggota Muhammadiyah disamakan saja untuk orang-orang Komunis.

Asisten Residen Winkelman memang sudah alang-kepalang marahnya dengan gerakan Kuminih di daerah kekuasaannya. Ia seolah tidak berdaya menghadapi kekuatan ‘merah’ yang sudah meresahkan pegawai-pegawainya sedari 1923-1927.

Ia kemudian menulis,”Siapakah yang bisa menjamin saya bahwa unsur ekstrimis di nagari itu tidak menyembunyikan diri mereka sendiri dibalik panji-panji Muhamamdiyah?” (Mailrapport 524x/’27).

Peristiwa penolakan Muhammadiyah di Pitalah dan Labuah, selanjutnya menarik perhatian pemerintah. Saalah kemudian membawa persoalannya pada otoritas pemerintah Batavia dan Hoofdbestuur Muhammadiyah Hindia Timur.

Di sinilah letak kelihaian Saalah. Ia cerdik memanfaatkan situasi yang menguntungkan, guna mempropagandakannya pada otoritas Batavia, bahwa Muhammadiyah Padang Panjang memang anti Kuminih.

Kantor Urusan Pribumi yang menangani persoalan Cabang Padang Panjang, kemudian melihat kesempatan untuk memulihkan situasi di Sumatera Barat. Mereka berupaya memanfaatkan tangan pengurus Hoofdbestuur Muhammadiyah Hindia Timur–untuk mengontrol penuh Cabang Padang Panjang, agar tidak disusupi kekuatan Kuminih.

Itu juga yang mendorong para pemimpin agama untuk mengirim Haji Fakhrodin ke Minangkabau. Tanggal 15 April 1927, Van der Plas, seorang penasehat kantor Urusan Pribumi, mengirimkan surat kepada Residen Arndt setelah Fakhrodin menyatakan dukungannya untuk menyebarkan Muhammadiyah di wilayah Minang.

Fachrodin meminta Residen Sumatera Barat untuk menghentikan permusuhan mereka karena Muhammadiyah adalah wakil Islam yang sebenarnya dan tidak partisan. Van der Plas juga meminta Arndt bersimpati selama tur Haji Fakhrodin di Sumatera Barat.

Gubernur Jenderal de Graeff menerima argumen Van der Plas dan meminta Arndt untuk mengakhiri permsuhan dengan Haji Abdul Karim Amrullah. Dengan perubahan sikap itu, Muhammadiyah pusat berharap dapat membantu pemerintah Batavia membersihkan sisa-sisa Kuminih di Sumatera Barat.

Sepertinya surat-menyurat Van der Plas cepat melunakkan hati Residen Sumatera Barat. Ketika Fakhrodin pergi ke pedalaman Minangkabay, pejabat Hindia Belanda memperlakukannya dengan baik (Surat Van der Plas untuk Arndt tanggal 14 April, 15 April, dan 20 April 1927 dalam Mailrappport 524x/ 1927).

Meskipun Fakhrodin mengetahui telah terjadi diskriminasi di Pitalah dan Labuah, namun ia tidak memasukkannya dalam laporan perjalanannya. Fakhroddin punya penyelesaian elegan. Untuk meredakan konflik di tingkat cabang dan groep, ia memakai menantu Haji Rasul, yakni A.R Sutan Mansur untuk berurusan dengan otoritas adat dan ulama tradisional.

Selama perjalananannya di Maninjau dan Padang Panjang, Fakhrodin juga dibantu oleh kakak ipar Hamka–yang telah berhasil merangkul ninik mamak dan kepala nagari bergabung dalam persyarikatan. Sepeninggal Fakhrodin, Sutan Mansur terus memajukan persyarikatan dengan beberapa metode pendekatannya yang unik.


Suksesnya tourne Fakhrodin, rupanya diiringi insiden penarikan diri dua ulama kharismatik dari Muhammadiyah Cabang Padang Panjang. Kisahnya bermula, ketika Syekh Muh. Djamil dan Syekh Muh. Zain – yang telah menjadi bagian dari pengurus Muhammadiyah Cabang Panjang, menghadiri Kongres ke-16 tahun 1927 di Pekalongan.

Kedua ulama itu baru menyadari posisi sebenarnya Muhammadiyah saat kongres ke-16. Sambil berbicara, KH Mas Mansur menjelaskan kepada semua orang yang hadir tentang khittah Muhammadiyah dalam mengamalkan agama. Selanjutnya, Majelis Tarjih resmi dibentuk sejak saat itu (Hamka, 1971: 20).

Syekh Muh Zain dan Syekh Muh Djamil menyadari bahwa mereka telah "salah kamar". Mereka hanya terdiam dan tidak menentang gagasan KH Mas Mansur.

sumber : https://algebra.republika.co.id/posts/236963/kisah-komunis-di-ranah-minang
BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement