Rabu 04 Oct 2023 14:30 WIB

PBB Sahkan Vaksin Malaria Kedua, Tapi Kok Resisten?

Ahli menilai vaksinasi saja tidak cukup untuk menghentikan epdemi.

Rep: Rahma Sulistya/ Red: Friska Yolandha
Seorang bayi dari desa Tomali di Malawi disuntik dengan vaksin malaria pertama di dunia dalam program percontohan, pada 11 Desember 2019. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengesahkan vaksin malaria kedua pada Senin, 2 Oktober 2023.
Foto: AP Photo/Jerome Delay
Seorang bayi dari desa Tomali di Malawi disuntik dengan vaksin malaria pertama di dunia dalam program percontohan, pada 11 Desember 2019. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengesahkan vaksin malaria kedua pada Senin, 2 Oktober 2023.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- World Health Organization (WHO) mengesahkan vaksin malaria kedua pada Senin (2/10/2023). Akan tetapi, beberapa ahli di luar WHO mengatakan, vaksin saja tidak cukup ditambah dengan laporan resistensi obat.

Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus mengatakan, badan kesehatan PBB menyetujui vaksin malaria baru berdasarkan saran dari dua kelompok ahli. Mereka juga merekomendasikan penggunaannya pada anak-anak yang berisiko terkena penyakit tersebut.

Baca Juga

“Sebagai seorang peneliti malaria, saya selalu memimpikan suatu hari nanti kita akan memiliki vaksin yang aman dan efektif melawan malaria. Sekarang kita punya dua,” kata Tedros, dilansir dari AP, Rabu (4/10/2023).

Universitas Oxford mengembangkan vaksin tiga dosis baru dengan bantuan dari Serum Institute of India. Penelitian menunjukkan bahwa obat ini lebih dari 75 persen efektif dan perlindungan dipertahankan setidaknya selama satu tahun lagi dengan booster.

Tedros mengatakan vaksin tersebut akan berharga sekitar 2 hingga 4 dolar AS. Vaksin akan tersedia di beberapa negara pada tahun depan jika penyandang dana setuju untuk membelinya. Awal tahun ini, otoritas Ghana dan Burkina Faso menyetujui vaksin tersebut.

“Ini merupakan satu lagi alat yang kita miliki sekarang, namun alat ini tidak akan menggantikan kelambu dan penyemprotan insektisida. Ini bukanlah vaksin yang akan menghentikan malaria,” kata John Johnson dari Doctors Without Borders.

Pada 2021, WHO mendukung vaksin malaria pertama dalam apa yang digambarkannya sebagai upaya bersejarah untuk mengakhiri dampak buruk penyakit yang ditularkan nyamuk di Afrika. Afrika merupakan rumah bagi sebagian besar dari perkiraan 200 juta kasus dan 400 ribu kematian di dunia.

Namun vaksin tersebut, yang dikenal dengan nama Mosquirix dan dibuat oleh GSK, hanya efektif sekitar 30 persen. Vaksin ini memerlukan empat dosis dan perlindungannya akan hilang dalam beberapa bulan. 

Namun para ahli WHO mengatakan, data hingga saat ini mengenai vaksin yang dikembangkan GSK dan Oxford tidak menunjukkan vaksin mana yang lebih efektif.

Bill & Melinda Gates Foundation, salah satu pendukung terbesar vaksin GSK, tahun lalu mundur dari dukungan finansial untuk peluncuran Mosquirix. Mereka mengatakan bahwa hal itu kurang efektif dibandingkan yang diinginkan para pejabat dan pendanaan akan lebih baik digunakan di tempat lain.

“Perbedaan besar antara kedua vaksin ini adalah aksesnya,” kata Johnson, sambil mencatat bahwa hanya sekitar 12 negara yang dijadwalkan untuk mendapatkan vaksin GSK dalam jumlah terbatas, dalam beberapa tahun ke depan.

GSK menyatakan hanya dapat memproduksi sekitar 15 juta dosis per tahun. Serum Institute mengatakan pihaknya dapat memproduksi hingga 200 juta dosis vaksin Oxford per tahun.

Alister Craig, seorang profesor emeritus di Sekolah Kedokteran Tropis Liverpool, mengatakan dia akan merekomendasikan negara-negara yang mencoba mengalihkan vaksin GSK ke vaksin Oxford.

“Jika vaksin baru ini diluncurkan secara luas di seluruh Afrika, hal ini dapat secara signifikan mengurangi jumlah penyakit parah dan kematian akibat malaria dalam beberapa tahun,” kata Craig.

Tidak ada satu pun vaksin malaria yang....

 

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement