REPUBLIKA.CO.ID, JERUSALEM -- Tanpa peringatan pada Sabtu (7/10/2023), Hamas di Gaza menyerang Israel melalui udara, darat, dan laut. Jutaan warga Israel di bagian selatan negara itu terbangun karena suara roket yang datang dan dentuman dampak yang tak terhindarkan.
Sirene serangan udara meraung-raung hingga ke utara hingga Tel Aviv. Alat pencegat anti-roket Israel bergemuruh di Yerusalem.
Dalam eskalasi yang belum pernah terjadi sebelumnya, pejuang bersenjata Hamas meledakkan bagian dari pagar pemisah Israel yang dijaga ketat. Pasukan itu menyerbu komunitas Israel di sepanjang perbatasan Gaza, saling baku tembak terjadi dengan tentara Israel.
Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dan sekutu sayap kanannya berusaha keras untuk merespons peristiwa yang berubah dengan cepat. Seiring berlalunya hari, jumlah korban dengan cepat bertambah.
Kelompok Israel Rescue Service Zaka mengatakan, sedikitnya 200 orang tewas di Israel selatan dan tambahan 1.100 orang terluka. Setidaknya 198 orang di Jalur Gaza meninggal dan sedikitnya 1.610 orang terluka di tengah serangan balasan Israel.
Berikut adalah beberapa hal penting yang bisa diambil dari serangan multi-cabang yang tiba-tiba menjerumuskan Israel dan Gaza ke dalam pertempuran.
Apakah Israel Mendeteksi Serangan Hamas?
Kejutan yang dirasakan warga Israel pada Sabtu pagi bertepatan dengan hari raya Yahudi Simchat Torah mengingatkan kembali kejutan perang Timur Tengah pada 1973. Praktis 50 tahun sebelumnya, serangan besar-besaran Mesir-Suriah pada hari raya Yahudi dengan cepat berubah menjadi bencana bagi militer Israel yang tidak siap.
Dulu, seperti sekarang, Israel berasumsi bahwa badan intelijennya akan mampu memperingatkan tentaranya akan adanya serangan atau invasi besar jauh sebelumnya. Kegagalan besar tersebut masih menghantui warisan Perdana Menteri saat itu Golda Meir dan membantu meruntuhkan kekuasaan lama Partai Buruh yang dulunya dominan.
Kini, pertanyaan tentang bagaimana para pejuang Hamas mampu melancarkan serangan yang begitu besar dan terkoordinasi pun muncul. Serangan kali ini telah menewaskan lebih banyak warga Israel dibandingkan serangan apa pun sejak pemberontakan Palestina kedua dua dekade lalu.
Para pendukung pemerintah memperkirakan Netanyahu dan para menteri garis keras akan mengambil sikap yang sangat agresif terhadap Palestina usai serangan usai. Mereka akan menanggapi ancaman dari dari Gaza dengan lebih tegas. Selain itu, Netanyahu juga berisiko kehilangan kendali atas pemerintahannya dan negaranya.
Bagaimana Hamas Dapat Melakukan Penyerangan?
Hamas mengklaim para pejuangnya menyandera beberapa warga Israel di daerah kantong tersebut. Mereka merilis video yang menunjukkan para anggota kelompok itu menyeret tentara yang berlumuran darah di tanah dan berdiri di dekat mayat, beberapa dari mereka ditelanjangi hingga hanya mengenakan pakaian dalam. Dikatakan bahwa perwira senior militer Israel termasuk di antara para tawanan.
Video-video tersebut tidak dapat segera diverifikasi tetapi disesuaikan dengan fitur geografis di wilayah tersebut. Kekhawatiran bahwa warga Israel telah diculik mengingatkan pada penangkapan tentara Gilad Shalit pada 2006, yang ditangkap oleh militan terkait Hamas dalam serangan lintas perbatasan. Hamas menahan Shalit selama lima tahun sampai dia ditukar dengan lebih dari 1.000 tahanan Palestina yang ditahan oleh Israel.
Dalam peningkatan dramatis yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam beberapa dekade terakhir, Hamas juga mengirimkan paralayang ke Israel. Serangan ini mengingatkan pada serangan terkenal pada akhir 1980-an ketika pejuang Palestina menyeberang dari Lebanon ke Israel utara dengan pesawat layang gantung dan membunuh enam tentara Israel.
Apa Yang Mendorong Serangan Tersebut?
Para pejabat Hamas menyatakan, serangan ini berasal dari segala ketegangan sudah lama ada antara Israel dan Palestina. Salah satu yang menjadi sorotan adalah perselisihan di sekitar kompleks Masjid Al Aqsa. Sebelumnya, masalah itu juga yang memicu perang berdarah 11 hari antara Israel dan Hamas pada 2021.
Dalam beberapa tahun terakhir, kelompok agama nasionalis Israel telah meningkatkan kunjungan ke kompleks Al Aqsa. Salah satu yang mendorong pergerakan ini adalah Menteri Keamanan Nasional Israel Itamar Ben-Gvir.
Pekan lalu, saat festival panen Yahudi di Sukkot, ratusan Yahudi ultra-Ortodoks dan aktivis Israel mengunjungi lokasi tersebut. Kunjungan ini pun memicu kecaman dari Hamas dan tuduhan bahwa orang-orang Yahudi berdoa di sana dan melanggar perjanjian status quo.
Selain itu, Hamas juga mengutip perluasan pemukiman Yahudi di tanah yang diklaim Palestina sebagai negara masa depan di wilayah Tepi Barat. Ditambah lagi upaya Ben-Gvir untuk memperketat pembatasan terhadap tahanan Palestina di penjara-penjara Israel.
Baru-baru ini, ketegangan meningkat dengan protes warga Palestina di sepanjang perbatasan Gaza. Dalam negosiasi dengan Qatar, Mesir, dan PBB, Hamas telah mendorong konsesi Israel untuk melonggarkan blokade yang telah berlangsung selama 17 tahun di wilayah tersebut. Tindakan ini dinilai dapat membantu menghentikan krisis keuangan yang semakin parah yang telah mempertajam kritik publik terhadap pemerintahan Hamas.
Beberapa analis politik menghubungkan serangan Hamas dengan perundingan yang ditengahi Amerika Serikat mengenai normalisasi hubungan antara Israel dan Arab Saudi. Sejauh ini, laporan mengenai kemungkinan konsesi kepada Palestina dalam perundingan hanya melibatkan warga Palestina di wilayah pendudukan Tepi Barat, bukan Gaza.
“Kami selalu mengatakan bahwa normalisasi tidak akan mencapai keamanan, stabilitas, atau ketenangan,” kata pejabat senior Hamas Bassem Naim.
Serangan Terjadi Ketika Masyarakat Israel Terpecah
Letusan kekerasan terjadi pada saat yang sulit juga bagi Israel. Negara ini sedang menghadapi protes terbesar dalam sejarahnya atas usulan Netanyahu untuk melemahkan Mahkamah Agung.
Gerakan protes tersebut menuduh Netanyahu melakukan perebutan kekuasaan sehingga memecah belah masyarakat Israel dan menimbulkan kekacauan di dalam militer Israel. Ratusan tentara cadangan mengancam akan berhenti menjadi sukarelawan untuk bertugas sebagai protes terhadap perombakan sistem peradilan.
Pasukan cadangan adalah tulang punggung angkatan bersenjata Israel. Protes di dalam jajaran angkatan bersenjata telah meningkatkan kekhawatiran mengenai kekompakan militer, kesiapan operasional, dan kekuatan pencegahan. Netanyahu pun menyerukan mobilisasi pasukan cadangan secara ekstensif pada Sabtu (7/10/2023).
Resolusi Yang Dapat Diharapkan?
Israel dan Hamas telah terlibat empat kali perang dan saling baku tembak sejak Hamas merebut kendali Gaza dari pasukan yang setia kepada Otoritas Palestina pada 2007. Gencatan senjata telah menghentikan pertempuran besar dalam konflik-konflik sebelumnya tetapi selalu goyah.
Setiap perjanjian di masa lalu memberikan masa tenang, hanya saja permasalahan yang lebih dalam dan mendasar dari konflik tersebut jarang ditangani. Kondisi ini pun menjadi landasan bagi serangan udara dan roket berikutnya.
Dengan meningkatnya pengaruhnya dalam putaran ini, Hamas kemungkinan akan berusaha lebih keras untuk mencapai konsesi mengenai isu-isu utama. Hamas akan mendorong Pengurangan blokade dan memenangkan pembebasan tahanan yang ditahan oleh Israel.