Rabu 25 Oct 2023 15:11 WIB

Analis Sarankan Investor Lebih Selektif Pilih Saham Undervalued

Investor dapat membeli obligasi jangka pendek dengan valuasi yang lebih menarik.

Foto multiole eksposure pengunjung mengamati data saham melalui aplikasi IDX Mobile  di dekat layar yang menampilkan indeks harga saham gabungan (IHSG) di kantor PT Bursa Efek Indonesia (BEI) di Jakarta, Kamis (24/8/2023). IHSG ditutup melemah 0,32% ke 6899,39 pada akhir perdagangan. IHSG sempat mencapai posisi tertinggi di 6.937,64 dan terendah di 6.898,38 sepanjang sesi. Sebanyak 219 saham ditutup di zona hijau, 308 saham melemah, dan 215 saham lainnya ditutup di posisi yang sama.
Foto: Republika/Thoudy Badai
Foto multiole eksposure pengunjung mengamati data saham melalui aplikasi IDX Mobile di dekat layar yang menampilkan indeks harga saham gabungan (IHSG) di kantor PT Bursa Efek Indonesia (BEI) di Jakarta, Kamis (24/8/2023). IHSG ditutup melemah 0,32% ke 6899,39 pada akhir perdagangan. IHSG sempat mencapai posisi tertinggi di 6.937,64 dan terendah di 6.898,38 sepanjang sesi. Sebanyak 219 saham ditutup di zona hijau, 308 saham melemah, dan 215 saham lainnya ditutup di posisi yang sama.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Research Analyst & Consultant Infovesta Dandhi Nur Prastiyo mengatakan, investor perlu lebih selektif lagi dalam memilih saham dengan fundamental yang masih tergolong undervalued atau saham dengan harga yang lebih rendah dibandingkan dengan nilai intrinsiknya.

Alasannya, menurutnya, laju inflasi masih akan menjadi tantangan ke depan seiring dengan menguatnya harga minyak global imbas pemangkasan produksi yang dilakukan oleh Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak Bumi (OPEC+) dan Rusia.

"Serta dari domestik, dampak dari fenomena El Nino yang mendorong penggunaan energi bahan bakar, terutama dalam aktivitas produksi," ujar Dandhi dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Rabu (25/10/2023).

Kemudian, dari global, China baru saja melaporkan data pertumbuhan ekonomi kuartal III 2023 yang melambat ke level 4,9 persen year on year (yoy), akibat melambatnya permintaan terutama dari sisi konsumsi dan tertekannya sektor properti.

Selain itu, dari Amerika Serikat (AS), rilis data penjualan ritel tahunan kembali meningkat menjadi 3,8 persen, dibandingkan sebelumnya 2,9 persen.

"Pasar mencermati peningkatan salah satu indikator tersebut (penjualan ritel AS) justru menjadi risiko lanjutan, yang mana 'good news is bad news'," ujar Dandhi.

Sementara itu, pada pasar obligasi, ia merekomendasikan investor dapat membeli obligasi jangka pendek dengan valuasi yang lebih menarik dan mengurangi risiko tingginya ketidakpastian pasar.

Ia menyebut sentimen penggerak pasar obligasi pada pekan lalu, di antaranya Bank Indonesia (BI) dalam rapat dewan gubernur (RDG) pada 18-19 Oktober 2023 memutuskan kenaikan suku bunga sebesar 25 basis poin menjadi 6,00 persen atau di luar ekspektasi pasar.

"Sehingga, menjadi sentimen negatif untuk pasar obligasi domestik," ujar Dandhy.

Adapun, sentimen pasar obligasi dari global, yaitu testimoni terbaru dari Gubernur The Federal Reserve (The Fed) Jerome Powell yang mengatakan saat ini kebijakan moneter belum terlalu ketat dan inflasi belum turun signifikan. Hal tersebut memberikan sinyal bahwa The Fed masih akan meneruskan kebijakan suku bunga tinggi dalam waktu yang lama atau "higher for longer".

sumber : Antara
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement