Selasa 07 Nov 2023 08:15 WIB

Perang Paling Sengit dan Berdarah dalam Kehidupan Nabi Muhammad 

Nabi Muhammad pernah mengalami perang paling sengit.

Rep: Rossi Handayani/ Red: Muhammad Hafil
 Perang Paling Sengit dan Berdarah dalam Kehidupan Nabi Muhammad. Foto:  Rasulullah SAW. Ilustrasi
Foto: Republika/Kurnia Fakhrini
Perang Paling Sengit dan Berdarah dalam Kehidupan Nabi Muhammad. Foto: Rasulullah SAW. Ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Perang Mu'tah yang terjadi pada Jumadal Ula tahun ke delapan hijriah merupakan peperangan paling sengit dan berdarah dalam kehidupan Nabi Muhammad ﷺ. Perang ini adalah sebagai muqadimah ditaklukkannya negeri-negeri Kristen. 

Seperti dikutip dari Sejarah Hidup dan Perjuangan Rasulullah ﷺ disarikan dari kitab Ar-rahiqul Makhtum, Mu'tah adala nama sebuah negeri di Syam, berjarak sekitar 80 kilometer dari Masjidil-Aqsha. Perang ini disebabkan karena dibunuhnya utusan Rasulullah ﷺ yang dikirim untuk menyampaikan surat dakwah dari Rasulullah ﷺ oleh pejabat raja Qaishar di Balqa' negeri Syam. Tindakan tersebut bagi Rasulullah ﷺ tak lebih sebagai pengumuman perang.

Baca Juga

Maka itu, beliau menyiapkan tentaranya sebanyak 3.000 prajurit, belum pernah sebelumnya terkumpul jumlah sebanyak itu, kecuali pada perang Ahzab. Pada perang ini Rasulullah ﷺ memberikan tugas komando kepada Zaid bin Haritsah radhiyallahuanhu, beliau berpesan kepadanya : 

“Jika Zaid terbunuh, (komando) pindah ke Ja'far, dan jika Ja'far terbunuh, pindahkan ke Abdullah bin Rawahah". 

Rasulullah ﷺ pun berpesan kepada Zaid untuk mendakwahkan mereka kepada Islam. Jika mereka menerimanya, maka terimalah, sedangkan jika tidak, mintalah pertolongan kepada Allah dan perangilah mereka. Beliaupun berpesan : 

“Perangilah siapa yang kufur kepada Allah dengan NamaNya dan di jalan-Nya, Jangan berkhianat, jangan bunuh anak kecil, kaum wanita dan Orang tua renta, dan mereka yang beribadah di tempat ibadahnya. Jangan tebang pohon-pohon dan jangan robohkan bangunan”. 

Kemudian berangkatlah pasukan mujahid tersebut, diantar penduduk Madinah hingga ke tepi kota. 

Di tengah perjalanan, sampailah berita intelijen kepada pasukan kaum Muslimin bahwa Raja Heraklius telah menyiapkan 100 ribu pasukan Romawi di Balqa' dan ditambah lagi 100 ribu dari suku-suku sekitarnya. Sehingga keseluruhannya berjumlah 200 ribu pasukan. 

Jumlah raksasa dari pasukan musuh tersebut, sama sekali tidak diduga oleh pasukan kaum muslimin. Kebimbangan melanda mereka, apakah pasukan yang hanya berjumlah 3.000 orang mampu menghalau badai serangan pasukan berjumlah 200 ribu orang . 

Maka di daerah Ma'an, mereka menggelar musyawarah untuk menentukan sikap menghadapi kondisi tersebut. Pada awalnya mereka berencana untuk mengirim surat kepada Rasulullah ﷺ memberihatahukan jumlah pasukan musuh, agar dikirimkan pasukan tambahan atau beliau memerintahkan sesuatu yang lain. 

Namun Abdullah bin Rawahah menentang rencana tersebut, seraya berkata : 

“Wahai kaumku, sesungguhnya yang kalian khawatirkan ini, justru itulah yang kalian cari (mati syahid). Dan kita tidak berperang dengan jumlah dan kekuatan kita, tetapi kita berperang dengan agama ini yang karenanya Allah memuliakan kita. Berangkatlah, sesungguhnya pilihan kita hanyalah salah satu dari dua kebaikan, kemenangan atau mati syahid”. 

Akhirnya pasukan kaum muslimin sepakat atas kesimpulan Abdullah bin Rawahah. Maka berangkatlah pasukan kaum muslimin ke negeri musuh. Setelah tiba di sana mereka bermarkas di sebuah tempat bernama Mu'tah dan mempersiapkan pertempuran. Sayap kanan dipimpin Qutbah bin Qatadah al-Udzri dan sayap kiri dipimpin oleh Ubadah bin Malik al Anshari. 

Di sanalah pertempuran antara kedua pasukan berkecamuk, 3.000 pasukan melawan 200 ribu pasukan. Peperangan yang sulit dipahami dan dicerna kecuali dengan bahasa keimanan. 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement