REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sebagai bank mitra dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dalam mendorong implementasi sustainable finance, PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk atau BNI proaktif meningkatkan sustainable portofolio. Hal ini guna memperkuat stimulasi pertumbuhan ekonomi berkelanjutan di Indonesia.
Direktur Institutional Banking BNI Muhammad Iqbal mengatakan, sustainable finance BNI disalurkan untuk Kategori Kegiatan Usaha Berkelanjutan (KKUB) hingga September 2023 tercatat mencapai Rp178,9 triliun atau 27 persen dari total portofolio kredit BNI. Sustainable finance ini utamanya diberikan untuk kebutuhan pengembangan ekonomi sosial masyarakat melalui pembiayaan segmen UMKM sebesar Rp118,3 triliun, pengelolaan bisnis ramah lingkungan dan sumber daya alam hayati sebesar Rp21,5 triliun, energi baru dan terbarukan sebesar Rp10,1 triliun, pembiayaan untuk pencegahan polusi sebesar Rp3,7 triliun, serta Sustainable Portfolio lainnya sebesar Rp25,3 triliun.
"BNI semakin proaktif memperkenalkan pembiayaan yang berkelanjutan (sustainability linked loan). Hingga September 2023, perseroan telah menyalurkan SSL sebesar Rp4,7 Triliun kepada para pelaku industri utama di berbagai sektor, seperti agroindustri, semen dan manufaktur baja," kata Iqbal, dalam keterangan tertulis, Kamis (9/11/2023).
Iqbal menyampaikan, sesuai dengan target pemerintah dalam mencapai Net Zero Emission tahun 2060, BNI juga berkomitmen untuk terus mendorong sustainable finance. Perseroan terus mendorong sosialisasi penerapan ESG serta menawarkan pricing yang menarik sebagai insentif bagi seluruh mitra BNI.
"Sebagai institusi keuangan, kami ingin terus bergerak aktif dan responsif terhadap kebutuhan dan dapat beradaptasi dengan adanya perubahan dari tren ekonomi berkelanjutan ini. Kami ingin terus optimalisasi pendapatan dengan berkontribusi pada sosial masyarakat, serta secara aktif menjaga kelestarian lingkungan," katanya.
Iqbal melanjutkan Indonesia memiliki saat ini menghadapi dua situasi yaitu pertumbuhan ekonomi yang stabil di lima persen dalam lima tahun ke depan dan persentase penduduk usia kerja yang berada pada tingkat 76,2 persen. Agar terhindar dari middle income trap, pendapatan nasional bruto (GNI) per kapita diharapkan mencapai 14.000 dolar AS sebelum 2045 melalui transisi ekonomi dari berbasis konsumsi menjadi berbasis investasi. Oleh karena itu, dia berpendapat arah kebijakan pada investasi berkelanjutan menjadi sesuatu yang amat penting untuk semakin diperkuat ke depannya.
Iqbal melanjutkan ada tiga bidang investasi yang memiliki potensi pertumbuhan besar di masa depan. Pertama, industri integrasi rantai pasok global mencakup sumber daya alam hilir, ekosistem kendaraan listrik, dan produk-produk berorientasi ekspor yang berbeda terutama produk otomotif, makanan dan minuman, dan elektronik.
Kedua, industri yang membutuhkan tenaga kerja dalam jumlah besar, antara lain sektor pertanian, usaha pariwisata, dan perdagangan jasa. Ketiga, investasi yang mengedepankan ESG termasuk geothermal energy, ketahanan pangan dan sumber daya air, serta infrastruktur yang memperhatikan lingkungan serta transisi energi di Indonesia.
“Mengingat risiko lingkungan hidup dan perubahan iklim semakin menjadi sorotan, kami tentunya akan lebih berkonsentrasi pada sektor-sektor yang terkait dengan ekonomi berkelanjutan,” katanya.