REPUBLIKA.CO.ID, SHANGHAI -- Bank-bank besar milik negara China telah aktif di pasar mata uang, membeli yuan dan membantu mempercepat pemulihan terhadap dolar AS yang melemah.
Seperti dilansir dari laman Reuters, Rabu (22/11/2023), bank-bank besar, yang terkadang bertindak atas nama otoritas moneter China, dalam satu tahun terakhir sering menjual dolar AS untuk memperlambat penurunan yuan. Aktivitas pembelian yuan mereka yang terus berlanjut ketika mata uang sudah naik merupakan kejutan bagi sumber tersebut.
Yuan telah menguat dua persen dalam sepekan terakhir, berada pada level sekitar 7,13 terhadap dolar – tertinggi dalam hampir empat bulan. Sumber tersebut mengatakan bahwa bank-bank pemerintah tampaknya mengikuti kombinasi swap dan aktivitas pasar spot yang biasa mereka lakukan, dan terlihat menukar yuan dengan dolar di pasar swap dalam negeri dan menjual dolar tersebut di pasar mata uang spot.
Tindakan mereka selama sepekan terakhir terjadi di tengah pelemahan dolar secara luas. Indeks dolar, yang mengukur nilai mata uang terhadap mitra dagang utama, telah turun lebih dari tiga persen pada November, karena imbal hasil AS menyerah pada tanda-tanda puncak pengetatan moneter Federal Reserve.
Beberapa pelaku pasar mengatakan bank-bank pemerintah mungkin mencoba mempercepat kenaikan yuan dan memacu eksportir untuk mengkonversi lebih banyak penerimaan valuta asing mereka ke yuan. Mata uang China masih turun lebih dari tiga persen terhadap dolar tahun ini.
Penjualan dolar oleh bank-bank pemerintah menyebabkan spot yuan dalam negeri sempat menyentuh 7,1296 per dolar, lebih kuat dari panduan resmi hariannya pertama kalinya dalam empat bulan.
Bank Rakyat China (PBOC) juga telah menurunkan tingkat penetapan harian dolar-yuan pada minggu ini. Pada Selasa, mata uang ini menetapkan titik tengah pada level terendah 3-1/2 bulan 7,1406 per dolar.
"Sangat mengejutkan melihat mereka terus menurunkan penetapan pada tingkat ini. Bagi saya, sepertinya mereka sedang melakukan pekerjaan persiapan menjelang penurunan suku bunga," kata Ahli Strategi makro Asia di Societe Generale Kiyong Seong.
Data terbaru menunjukkan pemulihan di negara dengan perekonomian terbesar kedua di dunia ini masih belum merata, dengan hasil industri dan penjualan ritel yang secara mengejutkan mengalami kenaikan di bulan Oktober, sementara aktivitas manufaktur dan harga konsumen terus menurun.
Meskipun perekonomian masih memerlukan lebih banyak stimulus kebijakan, para analis mengatakan pelonggaran moneter lebih lanjut dapat menambah tekanan terhadap mata uang China, mengingat perbedaan besar antara suku bunga di China dan negara-negara lain, khususnya Amerika Serikat.
PBOC telah menyuntikkan uang tunai melalui fasilitas pinjaman jangka menengah ke dalam sistem perbankan. Namun akhir-akhir ini mempertahankan suku bunga pinjaman tersebut tidak berubah.
Kepala Ekonom China di Credit Agricole Zhi Xiaojia mengatakan beberapa volatilitas di sekitar level ini mungkin terjadi saat ini, kecuali ada pergerakan negatif dolar yang lebih signifikan atau tambahan peristiwa positif sentimen besar.
"Memang benar, kesenjangan imbal hasil (yield gap) masih cukup lebar, dan kami masih mengharapkan lebih banyak pelonggaran kebijakan, termasuk penurunan suku bunga PBOC dan rasio cadangan wajib. Relatif konstruktif terhadap yuan hingga akhir tahun dan 2024," kata Zhi.