REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Indonesia Battery Corporation (IBC) mengungkapkan potensi industri baterai di Indonesia dapat menghemat impor BBM sekitar hampir 30 juta barel per tahun.
"Dari segi pengurangan impor bahan bakar, maka kita dapat menghemat hampir 30 juta barel per tahun dengan menggunakan elektrik dibandingkan dari segi bahan bakar fosil," ujar Direktur Utama IBC Toto Nugroho dalam Rapat Dengar Pendapat bersama Komisi VII DPR di Jakarta, Senin (27/11/2023).
Toto juga menambahkan, potensi lainnya dari industri baterai listrik yakni dapat mengurangi emisi CO2 di Indonesia sebanyak hampir sembilan juta ton per tahun.
"Dari Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sudah sepakat untuk mengembangkan industri baterai sampai tahun 2034," katanya.
Dalam peta jalan Kementerian BUMN terkait pengembangan ekosistem industri baterai, pada tahun depan IBC ditargetkan dapat memproduksi sel baterai sebesar 10 GWh pertama untuk otomotif, kemudian pengisian sekitar 5.000 stasiun penukaran baterai.
"Intinya kita bagaimana ingin mencapai 13 persen bauran energi baru terbarukan (EBT) pada tahun 2024," ujar Toto.
Sedangkan pada tahun 2034, IBC ditargetkan sudah bisa memproduksi sel baterai sekitar 50 GWh yang ditujukan untuk kendaraan listrik roda dua dan roda empat, serta sistem penyimpanan energi atau energi storage system.
"Energy storage system sangat penting untuk membantu terhadap pemanfaatan EBT," kata Toto.
Diketahui, pemerintah menargetkan Indonesia dapat menjadi negara dengan industri baterai kendaraan listrik terbesar di dunia. Saat ini, tren industri otomotif global tengah mengarah ke pemanfaatan kendaraan dengan bahan bakar berbasis listrik di mana salah satu komponen penting yang dibutuhkan dalam produksi kendaraan listrik adalah baterai.
Bahan baku utama dari baterai kendaraan listrik adalah nikel, kobalt, mangan, dan litium. Indonesia memiliki cadangan nikel sebanyak 25 persen dari total secara global.