Senin 04 Dec 2023 07:06 WIB

NASA dan IBM Garap Aplikasi Cuaca dan Iklim Bertenaga AI, Apakah Lebih Canggih?

Aaplikasi cuaca itu disebut punya keunggulan signifikan dibanding teknologi yang ada.

Rep: Shelbi Asrianti/ Red: Natalia Endah Hapsari
NASA dan IBM mengembangkan aplikasi cuaca yang disebut lebih canggih dibandingkan teknologi yang sudah ada/ilustrasi.
Foto: ABC
NASA dan IBM mengembangkan aplikasi cuaca yang disebut lebih canggih dibandingkan teknologi yang sudah ada/ilustrasi.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sebuah aplikasi cuaca dan iklim yang ditenagai kecerdasan buatan (AI) tengah dikembangkan. Aplikasi itu merupakan hasil kolaborasi antara Badan Penerbangan dan Antariksa Amerika Serikat (NASA) bersama perusahaan perangkat keras dan perangkat lunak komputer AS, IBM.

Dikutip dari laman Engadget, Senin (4/12/2023), NASA dan IBM menggabungkan pengetahuan dan keterampilan masing-masing untuk membangun model dasar AI untuk aplikasi. Menurut mereka, aplikasi mendatang bakal memiliki keunggulan signifikan dibanding teknologi yang sudah ada.

Baca Juga

Salah satu kelebihan yang sudah dibocorkan dari aplikasi cuaca dan iklim mendatang yaitu akan mampu memprediksi fenomena meteorologi. Selain itu, penerapan AI pada aplikasi juga membuatnya mampu mengidentifikasi kondisi yang kondusif terhadap kebakaran hutan. 

Model AI saat ini, seperti GraphCast dan Fourcastnet, sudah menghasilkan prakiraan cuaca lebih cepat dibandingkan model meteorologi tradisional. Namun, IBM mencatat bahwa semua itu masuk kategori emulator AI, dan bukan model dasar.

Seperti namanya, model dasar adalah teknologi dasar yang mendukung aplikasi AI generatif. Emulator AI dapat membuat prediksi cuaca berdasarkan kumpulan data pelatihan, namun tidak lebih dari itu, juga tidak dapat merancang kode fisika yang menjadi inti prakiraan cuaca.

Sementara, NASA dan IBM merancang model dasar yang punya beberapa tujuan. Dibandingkan dengan model saat ini, mereka berharap model dasar nanti memiliki aksesibilitas yang lebih luas, waktu inferensi yang lebih cepat, dan keragaman data yang lebih besar.

Tujuan utama lainnya adalah meningkatkan keakuratan perkiraan untuk aplikasi iklim. Kemampuan yang diharapkan dari model ini mencakup memprediksi fenomena meteorologi, menyimpulkan informasi beresolusi tinggi berdasarkan data beresolusi rendah, dan mengidentifikasi kondisi yang kondusif untuk segala hal, termasuk turbulensi pesawat.

Inovasi itu menyusul model dasar lainnya yang diterapkan NASA dan IBM pada bulan Mei. Model yang telah dirilis itu memanfaatkan data dari satelit NASA untuk kecerdasan geospasial. IBM mengatakan, itu merupakan model geospasial terbesar pada platform AI sumber terbuka Hugging Face.

Sejauh ini, model geospasial tersebut telah digunakan untuk melacak dan memvisualisasikan aktivitas penanaman dan pertumbuhan pohon di kawasan menara air (lanskap hutan yang menahan air) di Kenya. Tujuannya adalah untuk menanam lebih banyak pohon dan mengatasi masalah kelangkaan air. Model itu juga digunakan untuk menganalisis fenomena urban heat island (UHI) di Uni Emirat Arab.

Fenomena urban heat island (UHI) merupakan suatu fenomena yang banyak dikaji oleh para pengkaji iklim di dunia, termasuk di Indonesia. Fenomena ini ditandai dengan semakin meningkatnya suhu kawasan pusat kota dibandingkan dengan kawasan di sekitarnya.

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement