REPUBLIKA.CO.ID,
Ditulis oleh Wartawan Republika Gita Amanda
Kekejaman Israel di tanah Palestina bukan baru kali ini saja terjadi. Bukan seperti yang diyakini para pembela ‘baru’ Israel, yang menyebut aksi tentara Zionis merupakan balasan atas serangan roket Hamas pada 7 Oktober lalu.
Kekejaman Zionis di Palestina telah terjadi bertahun-tahun lamanya. Tapi tahukah apa yang membedakan dengan saat ini? Saat ini sosial media membuka mata seluruh dunia akan kekejaman Zionis tersebut.
Di era di mana segala informasi dengan bebas berseliweran, kini dunia benar-benar diperlihatkan bagaimana para Zionis berlaku kejam ke Palestina selama bertahun-tahun lamanya. Sosial media yang konon merupakan produk Zionis kini seperti senjata makan tuan.
Dulu, sebelum media sosial se-booming seperti saat ini, pemberitaan dan informasi hanya sebatas dari media-media arus utama. Untuk berita-berita konflik Timur Tengah termasuk apa yang terjadi di Palestina, sangat terbatas. Hanya media-media tertentu yang mau memberitakan apa yang sesungguhnya terjadi di Palestina.
Tapi kini tidak lagi, setiap warganet pemilik akun media sosial, bisa dengan mudah mendapatkan berita dan informasi terkait kekejian Zionis di Palestina khususnya Gaza. Setiap detik unggahan mengenai apapun yang terjadi di Gaza, Palestina dengan mudah diakses. Semua yang tadinya tak bersuara soal Palestina, kini tak bosan mengunggah berbagai hal yang terjadi di negeri tersebut. Dari orang biasa dengan pengikut puluhan hingga tokoh ternama dengan followers jutaan.
Ini bahkan membuat Facebook, Instagram hingga X kewalahan. Menanggapi eskalasi di Palestina, Facebook disebut-sebut telah mengubah kebijakan privasi konten mereka. Facebook menekankan pembatasan atas individu dan organisasi berbahaya, termasuk sebagian besar narasi terkait Palestina. Instagram bahkan beberapa kali menghapus unggahan warganet soal Palestina dengan mengkategorikannya sebagai ujaran kebencian.
Seperti kita semua tahu, CEO Meta yang menaungi Facebook dan Instagram, memang telah lama menyatakan dukungannya terhadap Israel. Zuckerberg yang melahirkan Facebook pada 2004 silam diketahui memang merupakan keturunan Yahudi.
Selain Intagram dan Facebook, platform jejaring sosial X juga menyatakan telah bermitra dengan Forum Internet Global untuk Melawan Terorisme. X berjanji akan menghapus konten-konten yang berkaitan dengan gerakan Hamas maupun akun-akun terkait Palestina. Platform asuhan Elon Musk terbukti telah menghapus ratusan akun warga Palestina.
Penggambaran ‘manis’ Hamas di Sosmed
Tapi nampaknya segala upaya para petinggi platform media sosial itu untuk membatasi unggahan dan akun terkait Palestina sia-sia. Ibarat mati satu tumbuh seribu, para pembela Palestina justru semakin banyak bermunculan di media sosial dan menggerus para pembela Zionis Israel.
Lihat saja yang baru-baru ini terjadi, bagaimana media sosial justru menampilkan ‘romantisme’ antara pejuang Hamas dengan para sandera Israel. Hamas yang selama ini digambarkan media-media barat sebagai sosok kejam yang memicu pembantian Israel atas Palestina, justru tampil dengan sangat humanis disetiap unggahan saat momen pembebasan sandera.
Video-video pembebasan sandera Israel yang beredar di media sosial hampir semuanya menunjukan hal yang sangat membuat hangat hati siapa pun yang melihat. Para sandera diantar dalam keadaan sehat, dituntun dengan baik, bahkan diberikan air minum dan pakaian layak.
Tampak bagaimana wajah para sandera Israel di berbagai unggahan menampakkan rona bahagia. Mereka bahkan melambaikan tangan sebagai salam perpisahan dan mengungkapkan rasa terima kasih kepada para penyandera mereka. Hal yang sungguh di luar nalar untuk sebuah peristiwa penyanderaan bukan?
Sungguh berkebalikan dengan kondisi para sandera Palestina di Israel. Yang tampak dalam keadaan tak sehat hingga mengalami gangguan mental. Kondisi ini sampai menimbulkan banyak meme di media sosial mengenai perbedaan drastis sandera asal Israel dengan Palestina.
Ini tentu membuat Zionis semakin meradang. Brigade Al Qasam Hamas yang selama ini susah payah digambarkan Zionis sebagai teroris keji seketika lenyap dengan berbagai unggahan di sosial media, khususnya kebaikan mereka mengantar para sandera pulang.
Pemerintahan Zionis Israel bahkan melarang seluruh sandera untuk bertemu wartawan usai pembebasan. Tapi lagi-lagi, media sosial membantu menyampaikan kepada dunia ‘testimoni’ para sandera selama dalam penyanderaan Hamas.
Salah satu yang paling viral adalah kisah surat yang ditulis oleh Danielle Aloni, ibu dari Emilia Aloni yang berusia 5 tahun. Dalam surat itu, Danielle berterima kasih kepada Hamas karena telah merawat putrinya dengan sangat baik selama 49 hari penahanan mereka di Gaza. Dengan menggunakan bahasa Ibrani yang kemudian diterjemahkan ke bahasa Arab, Danielle menuliskan bahwa putrinya, Emilia, merasa bahwa anggota-anggota Hamas terasa seperti temannya.
Belum lagi cerita sandera-sandera lain yang justru menolak bertemu dengan Perdana Menteri Israel saat kembali dari penyanderaan. Mereka justru merasakan empati sangat mendalam pada para warga di Palestina sekembalinya mereka ke Israel. Kesaksian-kesaksian mereka pun dengan mudah ditemukan di media sosial.
Sebaliknya, penggambaran Israel di media sosial malah kian memburuk. Berbanding terbalik dengan para anggota Brigade Al Qasam yang digambarkan sebagai lelaki sejati dan penuh wibawa dan tak gentar menghadapi musuh namun santun dan lembut kepada para sandera, tentara-tentara Israel justru viral dengan aksi-aksi nyeleneh mereka. Mulai dari joged-joged dengan lemah gemulai hingga yang mengaku kena mental usai dihujat warganet.
Dan jangan lupa peran netizen Indonesia tak bisa dilupakan dalam hal ini. Konon, netizen Indonesia termasuk salah satu netizen yang paling mengancam kesehatan mental para tentara Zionis. Mendengar hal itu, malah makin membuat warganet Tanah Air menjadi semakin bersemangat.
Julukan-julukan sebagai tentara julid pun semakin membakar semangat warganet Indonesia menyerbu akun-akun pro Israel. Beberapa ulama bahkan membolehkan dan mendukung aksi ini. Gerakan Julid Fi Sabilillah pun seketika menjadi tren di berbagai platform media sosial.
Jadi sejujurnya saya berterima kasih dengan para pembuat sosial media yang konon merupakan para pembela Israel ini. Sebab produk yang kalian ciptakan ini sungguh sangat membantu siapapun untuk bisa membela Palestina.
Meski tak ikut dalam perang fisik, namun kami semua bisa menggunakan sosial media ini sebagai alat untuk membuka mata dunia akan apa yang terjadi di Palestina. Sosial media juga membuat jutaan orang di setiap negara turun ke jalan menyuarakan dukungan pada Palestina.
Bahkan dengan sosial media, bantuan dan donasi dapat mengalir deras untuk Palestina. Mungkin warga Palestina tak tahu apa yang terjadi di media sosial karena boro-boro mereka bisa scrolling medsos bertahan hidup saja sesuatu yang sulit di sana. Tapi cukuplah media sosial menjadi CCTV kami semua di seluruh dunia akan apa yang terjadi di Palestina.
Jadi, saya dan semua pendukung Palestina tak akan memboikot sosial media meski ini produk Israel. Tapi kami akan menjadikannya senjata demi membantu perjuangan Palestina untuk merdeka.