REPUBLIKA.CO.ID, GAZA -- Puluhan ribu pengungsi Palestina berdesakan di daerah Rafah di perbatasan Gaza dengan Mesir untuk menghindari pengeboman Israel. Kantor kemanusiaan PBB mengatakan, pengungsi di Rafah tidak dapat tidur dengan nyaman karena kurangnya tenda pengungsi.
Warga sipil telah tiba di perbatasan Rafah menyusul perintah evakuasi oleh militer Israel yang meliputi wilayah di dalam dan sekitar kota Khan Younis di Gaza selatan. Ratusan ribu warga Palestina telah melarikan diri dari Gaza utara ke selatan dalam perang yang telah berlangsung selama hampir dua bulan. Eksodus terbaru ini membuat banyak pengungsi Palestina semakin terpojok di dekat perbatasan Mesir.
“Israel berbohong. Tidak ada tempat di Gaza yang aman dan besok mereka akan mengejar kami di Rafah,” ujar Samir Abu Ali, ayah lima anak berusia 45 tahun.
“Mereka menginginkan Nakba lagi tapi saya tidak akan pergi. Rafah adalah tujuan ‘akhir’ bagi saya,” kata Abu Ali.
Nakba atau bencana adalah sebuah peristiwa pengusiran paksa warga Palestina selama perang 1948 yang menyertai berdirinya negara Israel. Warga Gaza lainnya menyuarakan keprihatinan atas pengeboman Israel yang tanpa henti.
“Israel kini mendorong kami menuju Rafah dan kemudian mereka akan menyerbu ke sana,” kata seorang pengungsi lainnya yang bernama Zinaib melalui telepon dari Khan Younis.
Militer Israel bertekad untuk memusnahkan Hamas, setelah kelompok pejuang Palestina itu melakukan infiltrasi mengejutkan di Israel selatan pada 7 Oktober. Militer Israel telah menyebarkan selebaran yang memerintahkan agar warga sipil Gaza bergerak ke selatan menuju perbatasan Rafah.
PBB mengatakan, sekitar 80 persen dari 2,3 juta penduduk Gaza telah meninggalkan rumah mereka selama perang. Banyak dari mereka telah berpindah tempat berulang kali, dan terkena pengeboman udara.
Kota Rafah berjarak sekitar 13 km (8 mil) dari Khan Younis. Rafah terletak di perbatasan Mesir, dan menjadi satu-satunya titik persimpangan antara Mesir dan Jalur Gaza.
Laporan PBB pada Rabu (6/12/2023) mengatakan, sejumlah bantuan telah masuk ke Gaza dari Mesir melalui Rafah. Namun pendistribusiannya terhambat oleh kekurangan truk, dan staf PBB tidak dapat melapor ke Rafah karena meningkatnya permusuhan sejak gencatan senjata berakhir minggu lalu.
Israel kini mengendalikan volume dan sifat bantuan yang masuk ke Gaza. Para pejabat UNRWA mengatakan, hanya ada sedikit bantuan yang masuk ke Gaza melalui perbatasan Rafah dengan Mesir. Bantuan itu hanya dapat memenuhi sebagian kecil dari total kebutuhan warga Gaza.
Raja Abdullah II mengatakan kepada Christodoulides bahwa akan ada konsekuensi berbahaya dari segala upaya untuk secara paksa mengusir warga Palestina secara massal dari tanah mereka sambil mempertahankan kontrol keamanan.
Israel memulai pengeboman di Gaza sebagai pembalasan atas serangan pejuang Hamas pada 7 Oktober 2023. Pengeboman Israel telah menyebabkan hampir 16.000 warga Palestina meninggal dunia, dan membuat 80 persen penduduk meninggalkan rumah mereka.