REPUBLIKA.CO.ID, MALANG -- Kalender Jawa pada 2023 dengan sistem penanggalan tradisional rupanya masih digunakan khususnya pada masyarakat Jawa. Tanpa disadari, kalender ini menjadi bagian dari identitas budaya Nusantara yang usianya sudah berabad-abad dan bertahan di tengah arus modernisasi.
Dosen Sastra Indonesia dan Daerah Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Arif Budi Wurianto mengatakan, tradisi dan kearifan lokal yang melekat pada penanggalan ini memiliki akar sejarah yang kuat. Sebagaimana diketahui, kalender Jawa tidak lepas dari masa kerajaan Hindu-Budha, terutama di Kerajaan Mataram Kuno, Jawa Tengah. "Terlebih, pada masa itu pengaruh agama Hindu dan Budha masih sangat dominan," jelasnya.
Seiring masuknya Islam, penanggalan Jawa diakulturasi dengan agama Islam, menciptakan harmoni unik dalam setiap aspek kalender ini. Dalam penanggalan Jawa dengan perhitungan bulan, ada beberapa nama bulan yang menggunakan istilah Jawa dan istilah Islam.
Ia mencontohkan, suro dalam Jawa berarti Muharram dalam Islam yang merujuk pada tahun Hijriah. Selain itu, terdapat safar, Mulud atau Rabiul Awal, poso atau Ramadhan, Ba’da yakni Syawal atau hari raya dan lainnya.
Dijelaskan, penggunaan kalender Jawa tidak hanya sebagai alat pengukur waktu. Lebih dari itu, kalender ini mencerminkan filsafat hidup masyarakat Jawa yang erat kaitannya dengan siklus alam dan nilai-nilai keagamaan. Tradisi-tradisi unik seperti ‘Muludan’ pada bulan Rabiul Awal menjadi bukti bagaimana agama dan budaya saling menyatu dalam penanggalan ini.
Selain itu, penanggalan Jawa sering digunakan untuk menentukan hari baik atau buruk dalam berbagai kegiatan. Hal ini dimulai dari pekerjaan pertanian hingga upacara adat. "Masyarakat Jawa meyakini bahwa keberhasilan suatu aktivitas sangat dipengaruhi oleh keselarasan dengan alam dan spiritualitas," katanya.
Menurut dia, hal ini dipengaruhi oleh agama Hindu dengan tradisinya. Sebagai contoh, di Jawa sebenarnya tidak ada sesajen karena itu tradisi Hindu. Namun masyarakat Jawa meneruskan tradisi tersebut sehingga saat ada acara khusus juga menggunakan sesajen.
Kepala lembaga Bahasa Indonesia untuk Penutur Asing (BIPA) UMM ini juga menjelaskan, sistem penanggalan Jawa mencakup siklus pekan yang disebut "Pasaran." Setidaknya terdapat lima hari dalam satu pekan, yaitu Legi, Pahing, Pon, Wage, dan Kliwon. Setelah lima hari, siklus pekan akan berulang lagi.
Menurut dia, tradisi ini merupakan fakta tak terbantahkan yang harus dilestarikan. Meski demikian, penting untuk menyesuaikan tradisi yang tercermin dari penanggalan Jawa ini dengan keyakinan individu. "Sama halnya dengan pemerintah yang tidak bisa menghentikannya, karena ini adalah bagian tak terpisahkan dari warisan budaya," ujar dia.