REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ratusan pemimpin dunia dan pakar iklim berkumpul di konferensi iklim PBB tahun ini untuk menyaksikan persetujuan dana kerugian dan kerusakan akibat bencana iklim, dan perjanjian yang diperdebatkan tentang transisi dari bahan bakar fosil.
Negara-negara yang menghadiri Konferensi Para Pihak 2023 atau COP28 berada di bawah tekanan untuk mengadopsi perjanjian iklim baru di tengah kontroversi penunjukan Sultan Al Jaber sebagai presiden karena posisinya sebagai taipan minyak Uni Emirat Arab dan dugaannya yang mempertanyakan ilmu pengetahuan iklim. Beberapa negara juga ditemukan tertinggal dalam tinjauan pertama atas kemajuan mereka dalam mengurangi emisi untuk menjaga pemanasan global.
Berikut ini adalah beberapa hal penting yang dihasilkan dari pertemuan iklim PBB selama dua pekan yang diadakan di Expo City, Dubai, Uni Emirat Arab.
1. Kesepakatan yang diperdebatkan tentang bahan bakar fosil
Satu kesepakatan yang diajukan dalam konferensi ini membuat waktu pembahasannya diperpanjang satu hari, karena para peserta berjuang untuk menyepakati seberapa cepat produksi bahan bakar fosil harus dihentikan. Kesepakatan Global Stocktake yang diadopsi pada Rabu, menandai teks COP pertama yang secara terbuka menyerukan kepada negara-negara untuk menghentikan penggunaan bahan bakar fosil.
Namun, ini hanya merupakan peningkatan bertahap dari draf yang menyebabkan kemarahan karena menghilangkan bahasa untuk mengurangi atau menghapus bahan bakar fosil, yang telah didukung oleh lebih dari 100 dari 200 negara yang hadir.
Menghapuskan bahan bakar fosil berarti menghentikan pembakaran bahan bakar fosil secara total melalui tujuan seperti mencapai emisi Net Zero pada tahun tertentu. "Menghentikan secara bertahap" bahan bakar fosil berarti mengurangi pembakaran bahan bakar fosil secara bertahap tanpa menetapkan target jumlah dan tenggat waktu untuk mencapai nol bersih.
Teks akhir berhasil mendapatkan konsensus mayoritas dari 200 negara yang hadir untuk memasukkan bahasa untuk "beralih" dari bahan bakar fosil, yang bertanggung jawab atas hampir 90 persen emisi karbon dioksida global, menurut PBB.
2. Dana 'kerugian dan kerusakan' disetujui
Konferensi ini dimulai dengan catatan positif, di mana dana kerugian dan kerusakan (loss and damage) akhirnya disetujui. Dana ini dimaksudkan untuk mendukung masyarakat yang rentan dan negara-negara berkembang yang sedang berjuang untuk mengatasi dampak bencana iklim seperti kerusakan tanaman yang disebabkan oleh banjir. Namun, negara-negara maju telah dikritik atas jumlah dana yang bersedia mereka kucurkan.
Beberapa negara telah menjanjikan dana sebesar 700 juta dolar AS, yang masih jauh dari perkiraan kerusakan sebesar 400 miliar dolar AS yang disebabkan oleh perubahan iklim setiap tahunnya. Pada bulan September, sekelompok negara berkembang telah meminta setidaknya 100 miliar dolar AS untuk berkomitmen pada dana tersebut.
3. Kemajuan Perjanjian Paris dibahas di COP28
Kebutuhan akan rencana iklim yang baru dan proyek-proyek mitigasi perubahan iklim multilateral yang lebih kuat menjadi semakin mendesak mengingat semakin besarnya kesenjangan dalam mencapai tujuan Perjanjian Paris. Sebanyak 196 negara telah menandatangani perjanjian internasional yang mengikat ini, yang diadopsi pada tahun 2015.
COP28 menyimpulkan penilaian pertama atas kemajuan yang telah dicapai oleh setiap negara dalam mengurangi emisi sesuai dengan prinsip utama perjanjian tersebut, yaitu membatasi kenaikan suhu global hingga 1,5 derajat Celsius di atas tingkat pra-industri.
“Mematuhi Perjanjian Paris sangat penting untuk memotivasi negara-negara dalam menyusun rencana iklim yang diperbarui dan membawa kita lebih dekat ke tempat yang seharusnya. Penilaian global berikutnya terhadap target Perjanjian Paris diharapkan akan dilakukan pada COP33 di tahun 2028," kata Bhandary, asisten direktur of the Global Economic Governance Initiative Boston University seperti dilansir Al Jazeera, Senin (18/12/2023).
4. Keuangan global tidak mendukung energi terbarukan
Seperti beberapa COP sebelumnya, lebih dari 100 negara pada pertemuan tahun ini mendukung tiga kali lipat ketergantungan pada sumber energi terbarukan untuk mengurangi ketergantungan dunia pada bahan bakar fosil. Namun, para ahli mengatakan bahwa tujuan-tujuan tersebut sulit dicapai karena tekanan finansial yang dihadapi negara-negara berkembang.
Naiknya suku bunga di negara-negara maju berarti bahwa tingkat utang yang tinggi yang dimiliki negara-negara berkembang menjadi semakin mahal untuk dilunasi. Pembayaran utang membuat negara-negara miskin tidak memiliki banyak dana untuk berinvestasi di sektor-sektor seperti kesehatan atau mitigasi perubahan iklim.
Sekitar 70 negara berada dalam kesulitan utang, menurut laporan Dana Moneter Internasional yang dirilis pada bulan Agustus, yang berarti mereka telah gagal membayar pinjaman atau berada di jalur untuk gagal bayar.
Menurut Bhandary, sistem keuangan global harus merestrukturisasi utang negara-negara berkembang agar mereka dapat berinvestasi secara memadai dalam upaya-upaya perubahan iklim.