Rabu 03 Jan 2024 22:55 WIB

Kemenkeu Sebut 2023 Jadi Tahun tak Mudah Bagi Perekonomian Global

Suku bunga acuan di berbagai negara bertahan di level tinggi di 2023.

Rep: Iit Septyaningsih/ Red: Ichsan Emrald Alamsyah
Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu mengatakan, perang Rusia-Ukraina yang masih berlangsung, ditambah konflik Hamas-Israel, dan meningkatnya fragmentasi global menambah
Foto: dokpri
Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu mengatakan, perang Rusia-Ukraina yang masih berlangsung, ditambah konflik Hamas-Israel, dan meningkatnya fragmentasi global menambah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menyatakan, 2023 menjadi tahun tidak mudah bagi perekonomian global. Meski pandemi telah berakhir, namun peningkatan tensi geopolitik dan pengetatan likuiditas global dinilai membayangi aktivitas ekonomi global sepanjang 2023. 

Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu mengatakan, perang Rusia-Ukraina yang masih berlangsung, ditambah konflik Hamas-Israel, dan meningkatnya fragmentasi global menambah disrupsi sisi suplai yang telah terjadi sejak pandemi Covid-19. Sementara, kata dia, El Nino yang berkepanjangan telah menyebabkan naiknya harga komoditas pangan global.

Meski inflasi mulai melandai pada 2023, namun lanjutnya, suku bunga acuan di berbagai negara bertahan di level tinggi hingga akhir tahun (high for longer). Pasar keuangan global, kata dia, khususnya di negara berkembang, mengalami banyak guncangan sepanjang 2023. 

Aliran modal keluar meningkat sehingga menimbulkan tekanan pada nilai tukar lokal. Hal itu dinilai menimbulkan tekanan berat di sisi fiskal dengan meningkatnya beban utang Pemerintah di banyak negara.

Kementerian menilai, kombinasi pengetatan kebijakan moneter di banyak negara, meningkatnya tensi geopolitik, serta fenomena El Nino berdampak negatif pada kinerja ekonomi global. Pertumbuhan global pada 2023 diperkirakan melambat signifikan ke tiga persen dari sebelumnya 3,5 persen pada 2022.

"Perekonomian AS (Amerika Serikat) memang masih cukup resilien, namun dihadapkan pada tekanan fiskal yang terus meningkat. Perekonomian Eropa tumbuh sangat lemah, terutama Jerman yang sudah mengalami kontraksi dalam beberapa kuartal terakhir," ujar Febrio dalam keterangan resmi, Rabu (3/1/2024).

Sementara itu, lanjut dia, China menghadapi tren perlambatan dengan persoalan di sektor properti, utang Pemerintah daerah, serta persoalan struktural terkait ageing dan tingginya pengangguran kelompok muda. Dampak perang dagang dengan AS juga dinilai menjadi downside risk yang harus terus dihadapi Cina ke depan. 

Dijelaskan, indikator Purchasing Managers Index (PMI) manufaktur juga mengonfirmasi tren pelemahan ekonomi global. Sebagian besar negara mengalami kontraksi, termasuk di antaranya AS (48,2), kawasan Eropa (44,2), dan Jepang (47,7). Hanya sedikit negara yang berada di zona ekspansi, termasuk di antaranya Indonesia (52,2), Filipina (51,5) dan Tiongkok (50,8). PMI manufaktur Indonesia pada Desember 2023 bahkan meningkat dari posisi semula 51,7 pada November.

"Itu mencerminkan resiliensi pada aktivitas manufaktur. Ditopang oleh permintaan domestik yang masih kuat," tuturnya. 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement