REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Allah memerintahkan hamba-Nya untuk menikah sebagaimana tertulis dalam firmannya Surat An-Nisa ayat 3
فَانْكِحُوْا مَا طَابَ لَكُمْ مِّنَ النِّسَاۤءِ
fankiḥū mā ṭāba lakum minan-nisā'i
"Maka nikahilah perempuan (lain) yang kamu senangi."
Namun tidak sembarang lawan jenis yang dapat dinikahi. Ada batasan yang harus menjadi perhatian.
Sejumlah hukum yang diterapkan Allah SWT kepada hamba-Nya mempunyai beragam alasan sebagiannya. Rasionalisasi ibadah tersebut bisa dibaca tidak hanya dari teks, tetapi juga bukti empirik dan pembuktian ilmu pengetahuan, salah satunya.
Di antara contohnya adalah larangan menikahi perempuan yang masih mempunyai hubungan darah (mahram). Lalu, mengapa hal itu diharamkan?
Menurut Syekh Yusuf al-Qaradhawi dalam buku Tuntas Memahami Halal dan Haram, seorang manusia yang normal tidak mungkin melepaskan hasrat seksualnya kepada darah dagingnya sendiri, seperti kepada ibu, kakak, adik, atau anak perempuan. Bahkan, binatang pun tidak ada yang seperti itu.
Adapun perasannya kepada bibi atau tantenya, baik bibi dari pihak ayah ataupun ibu, seharusnya tidak juga dilakukan karena bibi memiliki kedudukan yang sama seperti ibunya sendiri. Sebab, kedudukan paman pun sama dengan ayahnya sendiri.
Seandainya syariat tidak datang untuk memutuskan keingin orang-orang tersebut, tentu bahaya akan lebih besar menimpa mereka. Karena terlalu dekatnya hubungan seorang laki-laki dengan mereka, di samping seringnya berduaan dan bergaul dengan mereka.
Lihat halaman berikutnya >>>