REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Imam Abul Husain Muslim bin Al-Hajjaj bin Muslim bin Kausyaz Al-Qusyairi An-Naisaburi yang lebih dikenal sebagai Imam Muslim meriwayatkan sebuah hadits yang cukup panjang. Hadits tersebut menceritakan seorang pembunuh yang telah banyak membunuh orang kemudian bertaubat. Lantas malaikat berdebat terkait pertobatan seorang pembunuh itu.
Dalam sabdanya, Nabi Muhammad SAW bercerita seperti ini: Di antara (umat) sebelum kalian (umat sebelum umat Nabi Muhammad), terdapat seorang laki-laki yang telah membunuh 99 orang. Suatu ketika, terbersit di hati pria tersebut akan azab Sang Pencipta. Dia berpikir, alangkah baiknya jika dia memohon ampunan-Nya sebelum ajal tiba.
Namun, apakah tobat orang yang telah membunuh puluhan nyawa tidak bersalah akan diterima? Pertanyaan itu sungguh-sungguh membebaninya.
Pembunuh itu kemudian menanyakan kepada orang-orang tentang siapa (di antara mereka) yang paling berilmu. Kemudian, pembunuh yang ingin bertobat itu diarahkan kepada seorang rahib. Dia pun mendatangi (rumah) rahib itu, untuk kemudian bertanya kepadanya, "Saya telah membunuh 99 orang, apakah masih terbuka (pintu) tobat?"
Rahib itu menjawab, "Tidak Ada." Seketika, pria itu membunuh rahib tersebut, sehingga genap jumlah korbannya 100 orang."
Kisahnya tidak berhenti sampai di situ. Sang pembunuh lantas menemui tokoh lain. Kali ini, dia menemui seorang alim ulama. Setelah menceritakan keadaannya, dia pun bertanya hal yang sama, apakah masih tersedia pintu taubat untuknya?
Orang alim itu menjawab, "Ya. Siapa juga yang menghalang-halangi untuk bertaubat. Pergilah dari kota ini dan (bergegaslah menuju) kota itu. Karena di sana ada kaum yang taat beribadah kepada Allah. Beribadahlah bersama mereka, jangan kembali ke negerimu. Sebab, negerimu itu telah menjadi negeri yang buruk."
Atas saran alim ulama itu, sang pembunuh segera hijrah dari negeri asalnya. Pria yang telah membunuh seratus nyawa itu ingin memulai babak baru kehidupan, di negeri tujuan yang berisi banyak orang sholeh.
Kisah pembunuh itu diceritakan dalam hadits Nabi Muhammad SAW, sebagaimana riwayat Imam Muslim. Rasulullah SAW melanjutkan sabdanya.
Dia (orang yang membunuh 100 nyawa) pun berangkat. Saat tiba di persimpangan jalan, ajal datang menjemputnya. Lalu (datanglah) Malaikat Rahmat dan Malaikat Azab, (keduanya) memperebutkannya.
Malaikat Rahmat berkata, "Dia datang dalam keadaan bertobat dan menghadapkan hatinya kepada Allah."
Sementara, Malaikat Azab berkata, "Dia belum melakukan satu kebaikan pun."
Akhirnya, turun sesosok malaikat yang berwujud manusia. Kemudian, keduanya (Malaikat Rahmat dan Malaikat Azab) sepakat untuk menjadikannya penengah.
Malaikat bersosok manusia itu berkata, "Ukurlah jarak di antara tanah (tempat kematian sang pembunuh). Lalu perhatikan, ke arah mana dia lebih dekat. Maka berarti dia termasuk penghuni tempat itu."
Malaikat Rahmat dan Malaikat Azab mengukurnya. Ternyata, pembunuh tersebut lebih dekat ke arah (negeri) yang hendak dia tuju. Maka Malaikat Rahmat kemudian menemani jiwanya.
Menurut Umar Sulaiman al-Asyqar dalam bukunya, Shahihul Qashash an-Nabawy, kisah tersebut membuka pintu harapan bagi siapapun orang beriman yang hendak meraih ampunan Allah SWT.
Ingat kembali Surah Az-Zumar Ayat 53. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
۞ قُلْ يٰعِبَادِيَ الَّذِيْنَ اَسْرَفُوْا عَلٰٓى اَنْفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوْا مِنْ رَّحْمَةِ اللّٰهِ ۗاِنَّ اللّٰهَ يَغْفِرُ الذُّنُوْبَ جَمِيْعًا ۗاِنَّهٗ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ
Katakanlah (Nabi Muhammad), “Wahai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas (dengan menzalimi) dirinya sendiri, janganlah berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa semuanya. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS Az-Zumar Ayat 53)
Allah melarang manusia untuk berputus asa dan meyakinkan manusia betapa ampunan-Nya sangat luas. Lihatlah, pria yang telah membunuh 100 nyawa. Atas izin Allah SWT, langkah kakinya digerakkan dalam hijrah menuju kehidupan yang lebih islami. Walaupun dia sudah meninggal sebelum mencapai negeri yang dituju, ternyata tobatnya sudah diterima Allah SWT.
Demikian juga menurut Syekh Umar Sulaiman, dari kisah ini dapatlah dipetik suatu hikmah. Betapa rahib yang menjadi korban ke-100 merupakan orang yang pandai beribadah, tetapi belum tentu berilmu. Kata-katanya yang menghakimi bahwa taubat sang pembunuh tidak mungkin diterima terbukti keliru.
Sementara, alim ulama menilai, siapapun hamba Allah berkesempatan mendapatkan naungan dan ampunan-Nya. Dengan begitu, terbukalah jalan menuju pintu tobat, tertutuplah celah kembali kepada kemaksiatan.