REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Industri jasa keuangan kini memegang peranan sentral dalam mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia, baik dalam sektor perbankan maupun sektor non perbankan.
Fakta ini tidak dapat dipungkiri, di mana masyarakat diberikan kemudahan dalam memenuhi kebutuhan ekonomi pribadi maupun modal usaha. Contoh dari kebutuhan pribadi mencakup pembelian rumah dan kendaraan, sementara untuk kebutuhan modal usaha mencakup pembangunan pabrik dan pembelian armada transportasi. Pembiayaan membantu masyarakat yang membutuhkan modal untuk memenuhi kebutuhan tersebut atau memberikan dorongan kepada pebisnis untuk meningkatkan usaha mereka.
Namun demikian, pandemi COVID-19 telah memberikan dampak ekonomi yang signifikan di Indonesia. Dalam situasi ini, industri jasa keuangan memegang peran penting dalam mendukung upaya pemulihan ekonomi.
Dalam menjalankan kegiatan usahanya, Perusahaan Jasa Keuangan memberikan pembiayaan kepada berbagai jenis konsumen. Namun, terdapat tantangan dalam bentuk debitur beritikad tidak baik, terutama dalam sektor non perbankan seperti industri multifinance. Sejumlah oknum dengan sengaja memanfaatkan sistem untuk mendapatkan keuntungan pribadi yangmenyebabkan kerugian pada industri multifinance.
Pada bulan Desember 2023, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengumumkan penerbitan Peraturan OJK (POJK) No. 22 Tahun 2023 yang menggarisbawahi perlindungan konsumen dan masyarakat di sektor jasa keuangan. Meskipun demikian, muncul pertanyaan dan pertimbangan yang perlu diperhatikan yaitu mengenai keberlakuan POJK sebelumnya, yaitu POJK No. 06/POJK.07/2022, yang tetap berlaku pada saat POJK No. 22 Tahun 2023 diterbitkan. Poin ini menimbulkan pertanyaan mengenai hubungan dan transisi antara dua peraturan tersebut, yang kemungkinan membutuhkan klarifikasi lebih lanjut.
Meski APJAPI sepenuhnya mendukung tujuan positif OJK dalam menciptakan industri Jasa Keuangan yang bersih dan sehat, terdapat perhatian khusus terhadap Pasal 62 ayat (2) huruf c dalam POJK No. 22 Tahun 2023. Pasal tersebut, yang menyatakan bahwa “Dalam memastikan tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), PUJK wajib memastikan penagihan dilakukan: … c. tidak kepada pihak selain konsumen“. APJAPI mencatat bahwa ketentuan ini berpotensi melegitimasi moral hazard bagi konsumen yang beritikad tidak baik, karena dapat dimanfaatkan untuk melegalkan praktik yang merugikan industri multifinance. Keberimbangan perlindungan yang diberikan kepada konsumen yang beritikad baik dan tidak baik perlu dipertimbangkan lebih lanjut."
Sebagai Asosiasi yang mewadahi perusahaan penagihan, APJAPI merasa perlu menanggapi ataupun mengkritisi POJK tersebut. Menurut kami, sudah semestinya Konsumen/Debitur yang beritikad baiklah yang dilindungi bukan Konsumen/Debitur yang beritikad tidak baik yang tidak melakukan kewajibannya untuk membayar cicilan terhadap pinjamannya.
Keberadaan aturan ini juga memberikan dampak signifikan pada pekerjaan perusahaan-perusahaan Jasa Penagihan yang berada di bawah naungan APJAPI. Semua karyawan dari perusahaan penagihan tersebut telah mengantongi sertifikasi penagihan yang diakui oleh Sertifikasi Profesi Pembiayaan Indonesia (SPPI).
APJAPI berharap untuk dapat berkontribusi dalam diskusi dan evaluasi lebih lanjut terkait POJK No. 22 Tahun 2023 agar mencapai keseimbangan yang lebih baik dalam perlindungan konsumen dan mendukung pertumbuhan industri jasa keuangan yang sehat dan berkelanjutan di Indonesia.