Senin 05 Feb 2024 13:32 WIB

Tasawuf Bukan Hanya Soal Memutar Tasbih  

Inti amalan dalam praktik tasawuf adalah ikhtiar.

Tasawuf (ilustrasi)
Foto: Blogspot.com
Tasawuf (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ulama Indonesia, yakni Habib Lutfi bin Yahya, dalam beberapa tahun ini dipercaya menjadi pemimpin ulama sufi internasional, yang anggotanya terdiri atas ahli tarekat, ulama, dan mursyid atau pemimpin tarekat dunia.

Pada sebuah kesempatan, Habib Lutfi menyentil pemahaman banyak pihak mengenai tasawuf atau sufi. Pemahaman yang perlu diluruskan adalah bahwa dunia tasawuf bukan sekadar aktivitas duduk (zikir) kemudian memutar tasbih.

Baca Juga

Tasbih digunakan untuk menghitung jumlah bacaan lafal suci yang dibaca oleh para pengamal ajaran tasawuf. Meskipun demikian, inti amalan dalam praktik tasawuf adalah ikhtiar untuk selalu tazkiyatun qalb atau membersihkan kalbu, salah satunya lewat jalan wirid atau zikir. Bisa juga sebagai tazkiyatun nafs.

Pembersihan kalbu itu dilakukan secara rutin, sebagaimana semua insan selalu membersihkan tubuh setiap hari, baik lewat mandi, wudhu, dan lainnya.

Pembersihan kalbu itu bertujuan untuk menjauhkan hati dari sifat-sifat tidak suci alias penyakit, seperti hasut, iri, dengki, mudah marah, termasuk takabur alias angkuh atau sombong. Penyakit hati ini, di dalamnya mencakup rasa diri lebih baik dari pada orang lain. Penyakit terakhir ini sangat halus sehingga betul-betul membutuhkan kebersihan hati karena jarang disadari oleh kita sebagai hamba.

Dengan hati bersih yang selalu bersandar pada lafal suci "Laailaaha illallah" atau tiada Tuhan selain Allah, maka cahaya Ilahi seharusnya menyelusup dan mewarnai hati, pikiran atau otak kita sehingga kita terlepas dari jebakan mencari keuntungan pribadi serta kelompok dalam praktik berbangsa dan bernegara.

Dengan sandaran tiada Tuhan selain Allah, maka yang ada dalam pikiran kita adalah bagaimana mewujudkan persatuan, kedamaian, dan kesejahteraan umat dan bangsa.

Dengan hati bersih, umat dan ulama, terutama dari para ahli tarekat, selalu hadir di mana pun dengan wajah lembut, damai, dan menjadi pemersatu umat. Lewat pembersihan kalbu, kita sudah sepatutnya hadir dalam ruang waktu kehidupan ini menjadi rahmat bagi seluruh alam.

Sebagai inti ajaran Islam, yakni menjadi rahmat, maka sudah semestinya kita menjadi peraga sifat-sifat Allah atau menebarkan cinta kasih di dalam semua lini kehidupan.

Pemilu 2024 bukan menjadi ajang untuk memperuncing perbedaan sehingga umat tidak menjadi objek aduan satu sama lain. Dengan kedok agama, kita harus jauh dari merasa diri dan kelompok kita sebagai yang paling Islam. Dalam ranah politik, inilah yang disebut sebagai politik identitas.

Ulama sufi hadir di tengah kita dengan membawa nilai-nilai lembut yang merupakan ajaran sesungguhnya dari kehadiran Islam di Bumi. Nabi Muhammad Saw., panutan utama umat Islam, menegaskan bahwa, "Aku tidak diutus ke Bumi ini, kecuali untuk memperbaiki akhlak".

Jika kita betul-betul meresapi nilai-nilai Islam sebagaimana yang dibawa oleh Nabi junjungan ini, maka tidak sepatutnya kita membawa-bawa Islam dengan gaya agitatif, seraya menuduh pihak lain sebagai tidak (kurang) Islam.

Ulama sufi dan para pengamal tasawuf selalu menjaga hati dan pikirannya untuk tidak tergelincir pada perasaan yang jauh dari akhlak Rasulullah itu. Ulama sufi dan pengamal tasawuf selalu bersandar diri pada lafal "tiada Tuhan selain Allah" agar tidak terjebak pada keadaan hati yang samar-samar justru merasa diri sebagai Tuhan.

Kembali kepada peringatan yang disampaikan oleh Habib Lutfi bahwa tasawuf bukan hanya tentang duduk dan memutar tasbih, kita sejatinya memikul beban luhur, dengan sandangan predikat tinggi langsung dari Allah, pemilik dan pengatur alam semesta, yakni "Khalifah fil ardl".

Pangkat yang bukan kaleng-kaleng, seperti predikat yang umumnya diberikan oleh sesama manusia. Predikat agung itu adalah manusia sebagai "wakil Allah di Bumi".

Sebagai wakil Allah, maka laku kaum sufi memang bukan sekadar duduk dan memutar tasbih. Laku itu menjadi lebih luas lagi di tengah umat, dalam bentuk peduli pada masalah ekonomi, pendidikan, kesehatan dan lainnya.

Jika antara laku duduk memutar tasbih dengan tugas kekhalifahan itu sejalan seiring maka keberadaan kita sudah pasti akan menjadi pemersatu dan teladan bagi umat, bukan hanya di negeri ini, tapi juga ke seluruh dunia.

Keterlibatan umat dalam persoalan-persoalan nyata di masyarakat ini menjadi salah satu poin rekomendasi yang dihasilkan Muktamar Sufi Internasional.

Rekomendasi itu mengajak tarekat-tarekat sufi untuk mengembangkan metodologi investasi di bidang pertanian, proyek pembangunan berkelanjutan dan program energi terbarukan untuk mencapai swasembada ekonomi, serta menyerukan kesadaran untuk mengurangi polusi yang menyebabkan pemanasan global dan perubahan iklim.

 

Keteladanan ulama-ulama terdahulu, juga menjadi acuan dari pemikiran ulama-ulama tarekat yang berkumpul di Pekalongan itu. Mengambil contoh kemanfaatan yang dirasakan oleh umat masa kini dari keberadaan Wali Songo di tanah Jawa. Selain menyebarkan ajaran tauhid, para wali itu juga memberi manfaat kesejahteraan kepada umat.

Bahkan, ketika para wali itu sudah meninggal, keberadaan energi rohaninya masih menyatukan umat serta memberi sumbangsih bagi ekonomi umat. Kuburan para wali itu diziarahi oleh umat sehingga petilasannya terus memberi pengingat bagi umat untuk meneladani perilaku para aulia itu, dan secara tidak langsung, tradisi ziarah juga menghidupkan ekonomi umat.

Sufi bukan sekadar duduk dan memutar tasbih, melainkan juga menebar kesejukan, kedamaian, dan kesejahteraan di alam semesta ini. Inilah wajah Islam yang sesungguhnya, menjadi rahmat bagi seluruh alam.

 

 

sumber : Antara
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement