Selasa 06 Feb 2024 18:11 WIB

Menlu Prancis: Tak Boleh Ada Pengusiran Warga Palestina di Gaza dan Tepi Barat

Aksi kekerasan pemukim ekstremis Yahudi Israel terhadap warga Palestina harus disetop

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Friska Yolandha
Menteri Luar Negeri Prancis Stephane Sejourne mengatakan, negaranya menolak adanya upaya pengusiran paksa warga Palestina di Tepi Barat maupun Jalur Gaza.
Foto: EPA-EFE/OLIVIER MATTHYS
Menteri Luar Negeri Prancis Stephane Sejourne mengatakan, negaranya menolak adanya upaya pengusiran paksa warga Palestina di Tepi Barat maupun Jalur Gaza.

REPUBLIKA.CO.ID, TEL AVIV -- Menteri Luar Negeri Prancis Stephane Sejourne mengatakan, negaranya menolak adanya upaya pengusiran paksa warga Palestina di Tepi Barat maupun Jalur Gaza. Khusus di Tepi Barat, dia menegaskan bahwa aksi kekerasan pemukim ekstremis Yahudi Israel terhadap warga Palestina harus dihentikan.

“Dalam situasi apa pun, tidak boleh ada pengungsian paksa terhadap warga Palestina, baik keluar dari Gaza maupun keluar dari Tepi Barat,” kata Sejourne kepada awak media di Yerusalem seusai bertemu Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu, Senin (5/2/2024), dikutip laman Al Arabiya.

Baca Juga

Dia pun mengecam retorika anti-Palestina yang digemakan sejumlah pejabat Israel. Sejourne kemudian menyerukan dukungan terhadap Presiden Palestina Mahmoud Abbas yang menjalankan pemerintahan di Tepi Barat. “Masa depan Jalur Gaza tidak dapat dipisahkan dari masa depan Tepi Barat, kita harus mempersiapkan masa depan ini dengan mendukung Otoritas Palestina,” ujarnya.

Sejourne menekankan kembali pentingnya solusi politik komprehensif agar Israel dan Palestina mampu mengakhiri konfliknya, kemudian menjadi dua negara yang hidup berdampingan secara damai. “Tanpa solusi politik, tidak akan ada perdamaian yang adil dan abadi di Timur Tengah,” ucapnya.

Dari Israel, Sejourne diagendakan melakukan perjalanan ke Ramallah. Dia akan menemui Mahmoud Abbas dan Menteri Luar Negeri Palestina Riyad al-Maliki. Sebelumnya PBB mengatakan, Israel telah memblokade sebagian besar pengiriman bantuan kemanusiaan ke Jalur Gaza bulan lalu. Hal itu membuat situasi kemanusiaan di Gaza kian memburuk. Tindakan Israel itu telah menentang resolusi Dewan Keamanan PBB yang diadopsi pada Desember tahun lalu.

“Untuk bulan Januari secara keseluruhan, hanya 10 dari 61 misi bantuan kemanusiaan yang direncanakan di utara Wadi Gaza yang difasilitasi oleh otoritas Israel,” ungkap Juru Bicara PBB Stephane Dujarric di markas PBB di New York, Senin kemarin, dikutip laman Anadolu Agency.

Dia menambahkan, dari 51 pengiriman yang tersisa, dua diizinkan masuk secara parsial, 34 tidak diberi akses sama sekali, dan enam lainnya ditunda oleh kelompok bantuan karena masalah operasional internal. Dujarric tidak menjelaskan bagaimana nasib sisa pengiriman lainnya.

Dujarric mengatakan, sebagian besar misi bantuan yang diizinkan masuk berisi dukungan makanan untuk daerah terkepung. Sementara misi yang ditujukan untuk mendukung rumah sakit di Gaza utara, fasilitas sanitasi air, dan layanan kebersihan lainnya, sebagian besar masih ditolak. Menurut data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), hanya 13 dari 36 rumah sakit di Gaza yang masih berfungsi. Rumah sakit yang masih beroperasi hanya berfungsi sebagian.

Sejauh ini setidaknya 27.478 warga Gaza telah terbunuh akibat agresi Israel yang dimulai pada 7 Oktober 2023. Sementara korban luka sudah melampaui 66.830 orang. Di tengah perang yang masih berkecamuk, warga Gaza harus hidup dalam kondisi mencekik akibat minimnya pasokan pangan, air bersih, dan obat-obatan. 

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement