REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Aksi boikot terhadap produk yang terafiliasi dengan Israel hingga saat ini masih dilakukan. Sejumlah perusahaan di Indonesia seperti Unilever Indonesia, McDonalds, Starbucks, dan lainnya mulai terdampak akibat aksi boikot terdebut.
“Boikot berdampak signifikan kepada kinerja banyak perusahaan yang menjadi sasaran boikot,” kata Ekonom sekaligus Direktur Eksekutif Segara Research Institute Piter Abdullah kepada Republika, Ahad (11/2/2024).
Dia menjelaskan, penjualan dan laba yang menjadi sasaran boikot mengalami penurunan. Menurutnya, kinerja perusahaan bisa semakin buruk apabila aksi boikot terus berlangsung dalam jangka waktu yang lebih lama.
“Dampaknya akan meluas karena bisa menyebabkan pengurangan tenaga kerja dan pasokan dari industri turunan,” ucap Piter.
Dia mengungkapakan, aksi boikot tersebut membuat masyarakat mencari pengganti atau substitusi produk yang ingin dibeli. Artinya, kata Piter, terjadi shifting kepada produk laun dan masyarakat tidak akan menabung sebagai dampak dari boikot.
Sebelumnya, PT Unilever Indonesia Tbk mengakui bahwa sentimen negatif konsumen akibat situasi geopolitik di Timur Tengah sempat mempengaruhi kinerja perseroan, khususnya dalam penjualan domestik. Konflik yang terjadi di Timur Tengah berimbas pada penurunan penjualan domestik Unilever Indonesia menjadi minus 5,2 persen pada 2023.
“Kuartal III 2023 cukup baik, kita mulai bulan Oktober juga dengan cukup kuat. November dan Desember 2023 kami terdampak oleh sentimen yang negatif karena situasi geopolitik. Ini berdampak ke penjualan domestik,” kata Presiden Direktur Unilever Indonesia Benjie Yap di Jakarta, Rabu (7/2/2024).
Sementara itu, McDonald's melaporkan target penjualan untuk pertama kalinya meleset dalam kurun empat tahun. Dalam laporannya, Senin (5/2/2024) kondisi ini disebabkan lesunya pertumbuhan penjualan di Timur Tengah, Cina, dan India.
Bulan lalu, CEO McDonald’s, Chris Kempczinski pernah mengungkapkan adanya dampak besar pada bisnis McDonald’s di pasar Timur Tengah dan sejumlah wilayah di luar kawasan tersebut karena isu konflik Israel-Hamas.
Ia mengeklaim, penyebab lainnya adalah informasi yang salah mengenai brand McDonald’s. McDonald’s memang termasuk di antara merek-merek Barat yang menjadi sasaran kampanye dan boikot anti-Israel. Aksi boikot dilakukan karena McDonald’s dianggap pro-Israel.
Pekan lalu nasib yang sama dialami Starbucks. Mereka memangkas target penjualan tahunan mereka. Di antara faktor yang menjadi pertimbangan adalah terpuruknya penjualan dan lalu lintas konsumen di gerai-gerai kopi mereka di Timur Tengah.
Starbucks juga mengungkapkan pemulihan penjualan di Cina lebih lamban dari yang diharapkan. Selain di Cina, pendapatan McDonald’s di India untuk pertama kalinya mengalami penurunan dalam kurun tiga tahun.
Perusahaan yang berbasis di AS ini juga mulau menunjukkan tanda-tanda pelemaan. Perputaran di gerai-gerai McDonald’s di AS anjlok 13 persen pada Oktober tahun lalu, ini merujuk Placer.ai data yang dikutip Wells Fargo. Kemudian, turun 4,4 persen pada Novemeber. Sedangkan pada Desember mengalami penurunan sebesar 4,9 persen.