REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Dewan Pimpinan Pusat Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (DPP GMNI) meminta masyarakat mewaspadai provokasi yang dibangun oleh kelompok-kelompok tertentu dalam satu pekan menjelang hari Pemilu. Di mana, ada sejumlah isu yang dilemparkan, seperti pemilu curang, pemerintah atau aparat tidak netral, hingga tuntutan pemakzulan Presiden Jokowi.
“Masyarakat harus hati-hati menyikapi gerakan yang melempar isu-isu semacam itu. Ada kemungkinan, gerakan itu awalnya sengaja ditimbulkan oleh pihak asing atau neolib untuk menciptakan efek bola salju dan kemudian dimanfaatkan oleh pihak paslon yang disponsori neolib tersebut. Tujuannya untuk merusak stabilitas nasional,” ucap Ketua Umum DPP GMNI Imanuel Cahyadi lewat keterangannya.
Menurut dia, seorang jenderal bintang empat Amerika Serikat (AS), Mike Minihan, menyatakan AS kemungkinan akan berperang dengan China pada 2025. Dengan begitu, kata dia, mulai 2024 ini adalah tahun dengan tantangan berat bagi geopolitik dan geostrategis Indonesia. Dia melihat, pihak asing akan berebut kendali atas Indonesia dengan berbagai cara, salah satunya merusak stabilitas nasional.
“Bagaimana tidak, pemilu kurang seminggu lagi, tapi neolib-neolib ini mengatasnamakan demokrasi ingin merusak pesta demokrasi Indonesia. Ada isu pemakzulan presiden kurang dari seminggu dari pemilihan presiden itu sendiri. Tentu masyarakat patut menduga ini adalah ulah pihak paslon yang sudah tahu bahwa mereka kalah,“ kata Imanuel.
Imanuel juga heran terhadap munculnya isu-isu yang menyerang pemerintahan Jokowi. Sebab, kata dia, Jokowi telah menegaskan bahwa dirinya tidak akan ikut berkampanye. Menurut Imanuel, sikap Jokowi itu sejalan dengan aspirasi kalangan akademisi, yang belakangan ramai menyatakan sikapnya mengenai pemilu.
"Sikap Presiden itu sudah mencerminkan netralitasnya, meskipun sebetulnya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum memperbolehkan Presiden/Wakil Presiden dan para Menteri ikut berkampanye dengan syarat-syarat tertentu," jelas Imanuel.
GMNI juga menyikapi putusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) yang menjatuhkan sanksi peringatan keras terakhir pada Ketua KPU RI dan jajaran sebab belum merevisi atau mengubah peraturan terkait batas usia calon presiden dan wakil presiden pasca putusan MK. Dia melihat putusan DKPP terhadap KPU itu seharusnya tidak menjadi 'alat serangan politik' terhadap pasangan calon (paslon) tertentu.