REPUBLIKA.CO.ID, BEIJING -- Pemerintah China belum berencana untuk menghentikan larangan impor produk hasil laut dari Jepang pasca pelepasan air radioaktif olahan dari Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) Fukushima ke Samudera Pasifik. "Tindakan pencegahan yang diambil oleh China dan beberapa negara lain sebagai respon terhadap tindakan Jepang ditujukan untuk melindungi keamanan pangan dan kesehatan masyarakat. Langkah-langkah ini sepenuhnya sah, masuk akal dan perlu," kata Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China Mao Ning saat menyampaikan keterangan kepada media di Beijing, China pada Jumat (23/2/2024).
Otoritas Bea Cukai China melarang impor produk akuatik, termasuk hewan akuatik yang dapat dimakan dari Jepang sejak 24 Agustus 2023. Berdasarkan data lembaga tersebut, China mengimpor makanan laut senilai lebih dari 500 juta dolar AS dari Jepang pada 2022.
Hal tersebut juga dilakukan oleh Hong Kong dan Makau. Larangan impor berlaku untuk produk dari 10 prefektur Fukushima, Miyagi, Ibaraki, Tochigi, Gunma, Saitama, Chiba, Tokyo, Nagano dan Niigata.
"Pembuangan air yang terkontaminasi nuklir di Fukushima di Jepang ke laut berdampak buruk bagi kesehatan seluruh umat manusia, lingkungan laut global dan kepentingan publik internasional," tambah Mao Ning.
Mao Ning mengatakan, Jepang perlu menanggapi keprihatinan internasional dengan serius.
"Jepang perlu membuang air yang terkontaminasi nuklir dengan cara yang bertanggung jawab, bersedia sepenuhnya untuk ikut membentuk aturan pengawasan independen di tingkat internasional yang efektif dalam jangka panjang dan melibatkan partisipasi aktif dari negara tetangga Jepang dan pemangku kepentingan lainnya," ungkap Mao Ning.
Tujuannya adalah untuk mencegah konsekuensi yang tak diinginkan dari pembuangan air limbah pembangkit nuklir ke laut. Namun, Mao Ning juga menyebut bahwa pemerintah China tetap menjaga komunikasi dengan otoritas Jepang terkait masalah air limbah tersebut.
"Sejauh yang saya pahami, kedua belah pihak menjaga komunikasi mengenai masalah air limbah radioaktif dari Fukushima," tambah Mao Ning.
Jepang mulai melepaskan air radioaktif olahan dari PLTN Fukushima Daiichi ke Samudera Pasifik pada 24 Agustus 2023 dengan pembuangan tahap pertama sebanyak 7.800 meter kubik atau setara dengan air yang memenuhi tiga kolam renang ukuran Olimpiade.
Secara total, Tokyo Electric Power Co (TEPCO) secara bertahap telah melepaskan 1,34 juta ton limbah air olahan PLTN Fukushima hingga Februari 2024. TEPCO mengklaim air limbah itu tidak berbahaya dan sangat encer di laut, kemudian dibuang secara bertahap selama puluhan tahun.
Terbaru, pada 7 Febuari 2024, diperkirakan 5,5 ton (5.500) liter air radioaktif bocor sebelum sebagian besar unsur radioaktif disaring di fasilitas canggih yang dikenal sebagai ALPS. Atas kebocoran air limbah tersebut, TEPCO menyebut tidak ada tanda-tanda kontaminasi yang terdeteksi di luar fasilitas tersebut. TEPCO juga mengklaim "tidak ada perubahan signifikan" di pos-pos pemantauan radioaktivitas di sekitar pembangkit listrik.
PLTN Fukushima hancur akibat gempa bumi besar dan tsunami pada 2011, yang menewaskan 18 ribu orang. Operasi pembersihan fasilitas itu diperkirakan memakan waktu hingga puluhan tahun. Badan Energi Atom Internasional (IAEA) juga mengatakan air olahan limbah Fukushima tidak berbahaya setelah melakukan survei dampak lingkungan, termasuk dengan mengambil sampel air dan ikan.
Namun China dan Rusia mengkritik pembuangan limbah PLTN Fukushima dan melarang semua impor makanan laut dari Jepang. TEPCO dan perusahaan-perusahaan Jepang lainnya dibanjiri telepon kritik dari China setelah pembuangan limbah tahap awal.