REPUBLIKA.CO.ID, SEOUL -- Presiden Korea Selatan (Korsel), Yoon Suk Yeol, mengatakan peningkatan hubungan dengan Jepang akan membantu menghadapi ancaman serangan dari Pyongyang. Ia menyerukan masyarakat internasional untuk membantu reunifikasi dengan Korea Utara (Korut).
Di bawah pemerintahan Yoon, Seoul berusaha memperbaiki hubungan dengan Tokyo saat pengaruh Cina semakin kuat. Sementara, program nuklir dan rudal Korut terus berkembang.
Pemerintah Korsel sebelumnya berselisih dengan Jepang mengenai isu masa kolonial Jepang di semenanjung Korea. Dalam pidato hari kemerdekaan, Yoon mengatakan tahun depan akan menjadi 60 tahun normalisasi hubungan dengan Jepang.
Ia berharap hal itu dapat memberi kesempatan hubungan bilateral dua negara mencapai 'tingkat yang lebih tinggi'. ''Kini Korea Selatan dan Jepang bekerja sama untuk mengatasi masa lalu yang menyakitkan dan bergerak menuju 'dunia baru'," katanya dalam pidato memperingati terbentuknya gerakan kemerdekaan melawan pendudukan Jepang di Korea pada tahun 1910-1945, Jumat (1/3/2024).
"Kerja sama keamanan antara dua negara terhadap ancaman rudal dan nuklir Korea Utara semakin kuat," tambahnya.
Dalam pidato itu, Yoon mengatakan Seoul membutuhkan bantuan internasional untuk setiap prospek reunifikasi dengan Korea Utara. "Unifikasi merupakan tantangan yang tidak bisa dicapai sendirian. Masyarakat internasional harus menyatukan kekuatannya dengan cara yang bertanggung jawab," kata Yoon.
Pada bulan Januari lalu, Pemimpin Korut Kim Jong-un menyebut Korsel sebagai "musuh utama" dan unifikasi sudah tidak lagi memungkinkan. Ketegangan di semenanjung Korea meningkat setelah militer Korsel dan Amerika Serikat (AS) serta terkadang Jepang menggelar latihan bersama untuk merespon uji coba senjata yang dilakukan Korut.
Yoon mengatakan pemerintah Korsel akan terus memberi dukungan pada warga Korut yang melarikan diri dari negara mereka. Ia menuduh Pyongyang sebagai 'tirani' dan pelanggar hak asasi manusia."