KINGDOMSRIWIJAYA – Hari Sabtu, 6 April 2024 Agus Fatoni datang ke Stasiun Kertapati Palembang, stasiun kereta api terbesar di Sumatera bagian Selatan (Sumbagsel). Hari itu Fatoni yang menjabat sebagai Penjabat (Pj) Gubernur Sumatera Selatan (Sumsel) melepas mudik gratis dengan kereta api.
Mudik gratis bagi warga Sumsel pada hari raya Idul Fitri 1445 H merupakan program Pj Gubernur Sumsel yakni “Gerakan Mudik Gratis Serentak se-Sumsel” (GMGSS). Namun kali ini mudik grastisnya ada yang berbeda, moda transportasinya berbeda dibanding mudik gratis pada tahun-tahun sebelumnya yaitu menggunkan kereta api.
Lazimnya mudik gratis banyak menggunakan moda transportasi bus atau kapal laut. “Pemerintah Provinsi Sumsel bersama pemerintah kabupaten dan kota sudah mencanangkan mudik gratis serentak se-Sumsel. Hari ini baru kita lepas bagi pemudik yang naik kereta api”, kata Fatoni.
Mudik gratis moda kereta api di Sumsel tahun ini ada dua tujuan untuk mudik Idul Fitri. Tujuan pertama mudik gratis dengan kereta api dari Stasiun Kertapati menuju Stasiun Tanjungkarang di Provinsi Lampung. Tujuan kedua masih dalam wilayah Sumsel, yaitu dari Stasiun Kertapati Palembang – Stasiun Lubuklinggau.
Dari Stasiun Kertapati, Agus Fatoni memakai topi pet merah PPKA atau Pengatur Perjalanan Kereta Api melepas pemudik gratis dari Sumsel. Ada 1.040 pemudik yang menuju kampung halamannya menggunkan moda transportasi kereta api. Sebanyak 520 penumpang mudik Tanjungkarang (Lampung) dan 520 penumpang menuju Lubuklinggau yang berjarak 389 km.
Program Gerakan Mudik Gratis Serentak se-Sumsel ini menurut Fatoni, sebagai bentuk perhatian nyata dari Pemerintah Provinsi Sumsel kepada masyarakat Sumsel agar dapat berkumpul dengan keluargannya di kampung halaman selama masa Idul Fitri 1445 Hijriah.
“Tidak hanya menggunakan kereta api ada juga mudik gratis menggunakan bus. Jadi masyarakat yang mau naik bus dan kereta api diberikan gratis untuk mudik bersama dan serentak pada Idul Fitri 2024,” katanya.
Dari terminal Alang-Alang Lebar juga melepas 17 bus yang membawa 620 pemudik ke beberapa daerah di Sumatera dan Jawa. Tujuan para pemudik dari Palembang tersebut berangkat ke Surabaya (Terminal Tipe A Purbaya), Solo (Terminal tipe A Tirtodadi), Padang Sidempuan (Sumatera Utara), Medan (Terminal tipe A Amplas), Bukit Tinggi (Sumatera Barat), Solok - Lubuk Basung (Sumatera Barat), Lahat - Pagaralam – Pendopo (Sumsel),
Lahat – Tebingtinggi (Sumsel), Musi Banyuasin - Lubuklinggau - Musirawas Utara (Sumsel), Kayuagung - Belitang - Muara Dua (Sumsel) dan Muara Enim - Baturaja - Martapura - Muara Dua (Sumsel).
Para pemudik tersebut tentu telah tiba di kampung halaman, bercengkrema dan bersendagurau dengan handai tolan yang sudah lama tidak berjumpa sambil terus menunaikan ibadah Ramadhan menjelang hari raya Idul Fitri tiba.
Mudik Budaya
Mudik lebaran atau visiting hometown on Idul Fitri days bagi mereka yang menanti setelah berpuasa Ramadhan selama satu bulan adalah sesuatu banget, sebuah peristiwa yang istimewa bagi setiap anak manusia yang melakoninya. Ada banyak penelitian yang menyatakan bahwa mudik adalah hasrat satu tahun sekali, sekaligus satu tradisi atau budaya yang ada dalam bangsa kita.
Sebuah penelitian yang dilakukan Muskinul Fuad berjudul “Makna Hidup di Balik Tradisi Mudik Lebaran (Studi Fenomenologi atas Pengalaman Pemudik dalam Merayakan Idul Fitri di Kampung Halaman)” (2011) menarik empat kesimpulan dari penelitiannya tentang mudik lebaran.
Pertama, dalam perspektif logoterapi, mudik lebaran merupakan budaya masyarakat Indonesia yang potensial untuk dijadikan sebagai salah satu wahana dalam meraih hidup yang bermakna bagi para pemudik.
Kedua, makna hidup tersebut dapat diraih melalui pemahaman atas nilainilai yang terkandung dalam mudik lebaran, yaitu; kekerabatan, primordial, eksistensial, dan transformatif.
Ketiga, nilai-nilai tersebut dapat dihayati dan dirasakan oleh pemudik saat melakukan berbagai aktivitas ritual dan tradisi seperti takbiran, shalat Id, ziarah kubur, sungkeman, silaturahmi (halal-bihala), kumpul bersama keluarga, memberi hadiah, dan sebagainya.
Keempat, mudik lebaran memiliki fungsi sebagai mekanisme katarsis dan psikoterapetik bagi kehidupan pemudik baik secara pribadi maupun secara sosial. Mudik juga dapat merevitalisasi kehidupan pribadi pemudik dan hubungan dengan keluarganya. Mudik dapat menyehatakan mental dan mendatangkan kebahagiaan.
Kata “mudik” secara harfiah berasal dari kata “udik” yang kerap diartikan desa. Jadi kata “mudik” diterjemahkan sebagai “pulang kampung”. Kata mudik selalu diidentikan sebagai pulang kampung yang dilakukan masayrakat sebelum hari raya Idul Fitri atau sepekan (tujuh hari) sebelum tanggal 1 Syawal dalam kalender Islam.
Dari buku “Mudikpedia Lebaran 2024” yang dikeluarkan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) menyebutkan bahwa kata “mudik” berasal dari Bahasa jawa yang merupakan singkatan dari “mulih dilik” yang berarti pulang sebentar.
Dalam tinjaun sejarah, mudik menurut Budayawan Umar Kayam, awal mulanya tradisi primordial masyarakat petani jawa yang keberadaanya jauh sebelum kerajaan Majapahit. Tradisi ini awalnya dilaksanakan untuk membersihkan pekuburan atau makam leluhur dengan disertai doa bersama kepada dewa-dewa di khayangan. Tujuannya adalah agar para perantau diberikan keselamatan dalam mencari rezeki dan keluarga yang di tinggalkan tidak diselimuti masalah.
Kemudian dengan masuknya ajaran Islam ke tanah Jawa membuat tradisi ini terkikis karena di anggap mengandung perbuatan syirik kepada Allah terutama kepada mereka yang menyalah gunakan dengan meminta kepada leluhur yang sudah meninggal.
Sylvia Kurnia Ritonga dalam “Larangan Mudik (Pulang Kampung) Lebaran Idul Fitri di Masa Pandemi Covid-19 dalam Sudut Pandang Hukum Islam dan Budaya” (2021) menyatakan, pada hakikatnya tradisi mudik bukanlah tradisi suatu agama, akan tetapi sebuah tradisi lokal saja. Artinya mudik ini tidak ada di seluruh negara hanya ada pada beberapa negara saja.
Menurut antropolog Neil Mulder, mudik sering dimaknai sebagai proses migrasi internal (lokal) yang berlangsung secara temporer. Di samping sebagai proses migrasi, mudik juga merupakan simbol kultur komunalitas yang terjadi pada masyarakat baik sebelum maupun pasca libur panjang atau hari besar kkeagamaan, terutama pada saat lebaran atau hari raya Idul Fitri.
Mudik menjadi tren di Indonesia sejak tahun 1970-an. Masa itu banyak masyarakat yang memilih pergi ke kota yang mulai semarak pembangunannya, mereka tinggal dan mencari penghidupan di kota-kota di Indonesia, ada yang mengatakan berkembangnya kota telah menyebabkan terjadinya migrasi untuk mencari penghidupan yang lebih baik di kota. Pola ini kemudian disebut urbanisasi.
Mereka yang tinggal di kota sebelumnya datang dari desa, saat musim libiur tiba mereka kembali ke desa atau kampung halamannya, aktivitas mereka disebut mudik. Khususnya pada libur hari besar keagamaan seperti Idul Fitri mereka yang di tanah ratnau pulang ke kampung halaman (mudik) jumlahnya sangat banyak.
Tahun 2023 jumlah pemudik melonjak drastis mencapai 123,8 juta, ini mudik terbesar yang sebelumnya pemerintah menerapkan larangan mudik karena pandemi Covid-19. Tahun 2024, Kementerian Kominfo memprediksi akan kembali terjadi lonjakan, diproyeksikan mudik akan membawa pergerakan secara nasional sebanyak 193.6 juta orang.
Mudik kini bukan hanya milik masyarakat, tapi pemerintah juga cawe-cawe dengan mempersiapkan berbagai fasilitas mudik agar mereka yang mudik nyaman, aman dan selamat sampai ke kampung tujuan. Pasca reformasi bergulir di Indonesia ada program mudik gratis yang massal dan masif dengan difasilitasi pemerintah sampai ke pemerintah kabupaten dan kota, juga oleh BUMN dan perusahaan swasta kini menjadi bagian dari cawe-cawe mudik.
“Bagi masyarakat Indonesia bahwa mudik lebaran merupakan satu ibadah atau ritual tahunan yang tak boleh dilanggar dan hal ini sama sekali dapat dikatakan tidak mengenal status sosial – ekonomi maupun derajat kehidupan seperti kaya atau miskin”, tulis Bambang B. Soebyakto dalam “Mudik Lebaran (Studi Kualitatif)”.
Fenomena Mudik
Banyak pakar ilmu sosial mengatakan mudik di Indonesia adalah fenomena menarik untuk dikaji dari berbagai aspeknya. Mudik bukan hanya budaya dan tradisi semata, juga peristiwa menarik, buktinya media massa perlu turun ke lapangan melakukan liputan langsung seperti pada media audio visual (televisi dan radio), media sosial (medsos) juga marak dengan informasi tentang mudik.
“Fenomena mudik jelas berkaitan erat dengan alasan kultural yang menyangkut tiga hal pokok”, tulis Abdul Hamid Arribathi & Qurotul Aini dalam “Mudik Dalam Perspektif Budaya dan Agama (Kajian Realistis Perilaku Sumber Daya Manusia)” (2018).
Tiga hal pokok tersebut, yaitu kebutuhan kultural untuk mengunjungi orang tua dan keluarga, berziarah ke makam kerabat, dan menilik warisan tinggalan keluarga di tempat asal. “Jika ketiga alasan itu tidak hadir, maka dapat dipastikan dorongan untuk mudik menjelang lebaran hampir tidak ada”, tulisnya.
Yang paling pokok dari ketiga hal tersebut, alasan untuk mengunjungi orang tua dan kerabat menjadi yang utama. Pada bangsa Indonesia, umumnya ada semacam kebutuhan kultural yang seolah-olah sebuah kekuatan yang mampu “memaksa” para perantau pulang kampung untuk mengunjungi orang tua dan kerabat mereka pada saat lebaran. Kebutuhan kultural itu begitu kuatnya dan mendorong orang untuk pulang mudik.
Abdul Hamid Arribathi & Qurotul Aini menarik kesimpulan bahwa mudik dalam perspektif psikologi adalah bagian kebutuhan fisilogis manusia yang harus dipenuhi (AbrahanMaslow) jika esensi mudik adalah untuk silaturahmi dan melepas rindu dengan keluarga dan sahabat.
Kemudian, kebutuhan mudik sulit terkikis dan belum tergantikan oleh mudahnya alat komunikasi seperti : handphone, telegram, email, sky dan teleconfrence. Mudik lebaran afalah asli tradisi dan budaya Indonesia, namun ada beberapa negara yang memiliki kesamaan dengan mudik seperti : China, India, Arab Saudi, Turki dan Malaysia. Esensi nilai-nilai mudik dengan tujuan untuk silaturrahmi (saling meminta dan memaafkan) sejalan dengan syariat Islam.
Dengan mudik gratis menggunakan kereta api (pertama kali di Sumatera Selatan atau Sumatera) difasilitasi Pemerintah Provinsi Sumsel, Pj Gubernur Agus Fatoni telah membantu sebagian rakyat Sumsel untuk silaturahmi dan melepas rindu dengan keluarga dan sahabat di kampung halaman. (maspril aries)