Jumat 19 Apr 2024 17:20 WIB

Budayawan Upayakan Kekayaan Intelektual Tari Gending Sriwijaya

Pendaftaran kekayaan intelektual tarian tradisional daerah ini perlu segera dilakukan

Sejumlah penari membawakan tarian gending Sriwijaya, (ilustrasi).
Foto: Antara/Nova Wahyudi
Sejumlah penari membawakan tarian gending Sriwijaya, (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, PALEMBANG -- Budayawan yang tergabung dalam Komunitas Batang Hari Sembilan (Kobar 9) Palembang, Sumatera Selatan mengupayakan daftarkan kekayaan intelektual tarian tradisional Tari Gending Sriwijaya dan Tari Tanggai.

"Kedua tarian tradisional yang selama ini dijadikan tarian untuk menyambut tamu-tamu penting serta acara resmi pemerintah daerah dan lembaga lainnya belum terdaftar sebagai kekayaan intelektual atau belum memiliki dasar hukum," kata Ketua Kobar 9 Vebri Al Lintani, di Palembang, Jumat (19/4/2024).

Baca Juga

Menurut dia, pendaftaran kekayaan intelektual tarian tradisional daerah ini perlu segera dilakukan agar memiliki perlindungan hukum dan tidak bisa diakui oleh masyarakat daerah lain bahkan negara lain sebagai warisan budaya nenek moyang mereka.

"Nah, di sinilah titik lemahnya belum terdaftar sebagai kekayaan intelektual Sumsel. Jangankan melindunginya diakui orang lain, untuk melarang tarian tersebut digunakan tidak sesuai peruntukannya saja susah karena tidak memiliki dasar hukumnya kecuali alasan tradisi atau kebiasaan turun temurun masyarakat,” kata mantan Ketua Dewan Kesenian Palembang (DKP) itu.

Menurut dia, sampai hari ini (April 2024) belum ada tanda-tanda dari pemerintah daerah baik Provinsi Sumsel maupun Kota Palembang untuk membuat peraturan tentang posisi tari sambut Tari Gending Sriwijaya dan Tari Tanggai.

Seharusnya sudah dilakukan sejak lama oleh pemda yang memiliki Dinas Kebudayaan dan Pariwisata serta instansi terkait lainnya karena apapun bentuk kegiatan resmi di negara ini menurut budayawan Sumsel itu, haruslah berdasarkan hukum, atau menurut istilah hukum harus ada legal standingnya.

“Jika tidak ada legal standingnya maka itu tidak sah secara hukum. Apalagi Tari Gending Sriwijaya yang merupakan warisan budaya dari para pendahulu dan mengenang kebesaran sejarah Palembang dan memuat kearifan lokal digunakan sebagai tari sambut resmi pemerintahan,” katanya.

Dia menjelaskan bahwa cerita para sesepuh tari dalam buku Tari Tanggai yang ditulisnya berdasarkan diskusi di DKP tahun 2016 memang ada instruksi Gubernur Sumsel Asnawi Mangku Alam tentang fungsi Tari Gending Sriwijaya yang diperuntukkan untuk menyambut orang pertama dalam satu negara (presiden, perdana menteri, raja).

Masalahnya instruksi Gubernur Asnawi itu mungkin hanya sebatas lisan, karena instruksi tertulis yang resmi tidak ditemukan.

Vebri menjelaskan Tari Gending Sriwijaya dianggap sah hanya karena ada kebiasaan yang sejak proklamasi kemerdekaan RI digunakan sebagai tari sambut. Begitu juga Tari Tepak (kemudian dikenal Tari Tanggai) sebagai turunan Tari Gending Sriwijaya dan terlahir karena insiden peristiwa pemberontakan G30S PKI.

Dalam catatan sejarah Pemerintahan Provinsi Sumsel, menurut Vebri hanya dua bentuk tari itulah yang dianggap sebagai tari sambut yang sering digunakan. Lalu Pemerintah Kota Palembang pun kemudian menggunakan kedua tari ini sebagai tari sambut, namun setali tiga uang dengan Pemerintah Provinsi Sumsel, Pemkot Palembang tidak kunjung pula membuat dasar hukumnya.

Dasar hukum tentang posisi tari sambut sangat penting untuk perlindungan dan pelestarian, jika ada kasus penyalahgunaan fungsi dapat ditegur oleh pemerintah dan masyarakat. Begitu pula jika ada yang mengaku-aku pencipta dari salah tari sambut tersebut, maka bisa saja dilaporkan sebagai pelanggar hak cipta (plagiator).

Vebri menyimpulkan bahwa Tari Sambut Sumsel dapat dikatakan antara ada dan tiada. Dikatakan ada karena berdasarkan cerita lisan dari mulut ke mulut dan bahkan tertulis dari beberapa catatan sejarah.

Sedangkan dikatakan tidak ada karena memang tidak pernah ditetapkan secara hukum (yuridis) oleh Pemerintah Provinsi Sumsel atau Pemerintah Kota Palembang sebagai tari sambut, kata Vebri.

Sementara Kepala Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) Sumatera Selatan Ilham Djaya mengatakan pihaknya siap memfasilitasi perlindungan kekayaan intelektual milik masyarakat baik secara perorangan maupun kelompok (komunal). "Untuk memfasilitasi perlindungan kekayaan intelektual, saat ini sudah dibuka sentra kekayaan intelektual di sejumlah kabupaten dan kota," ujarnya.

Permohonan sertifikat kekayaan intelektual seperti cipta, merek, paten, paten sederhana, desain industri, kekayaan intelektual komunal, dan kekayaan intelektual indikasi geografis melalui Kanwil Kemenkumham Sumsel dalam beberapa tahun terakhir meningkat.

Berdasarkan data jumlah penerimaan permohonan kekayaan intelektual pada 2022 tercatat 3.081 permohonan, meningkat menjadi 3.480 permohonan pada 2023. Permohonan kekayaan intelektual tersebut, pada 2024 ini, diprediksi lebih banyak lagi melihat kondisi data jumlah penerimaan permohonan pada Maret 2024 telah mencapai sekitar 400 pemohon, ujar Kakanwil Ilham.

sumber : Antara
Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Terkait
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement