Ahad 21 Apr 2024 21:34 WIB

Tidur di Atas Sungai Musi

Sejak dulu, rumah rakit menjadi pemandangan sehari-hari saat melintasi Jembatan Ampera atau menyusuri Sungai Musi dengan perahu getek.

Rep: Mursalin Yasland/ Red: Partner
.

Perahu getek melintasi Sungai Musi di bawah Jembatan Ampera Kota Palembang, Sumatra Selatan, Sabtu (13/4/2024) . (Foto: SumatraLink.id/Mursalin Yasland) 
Perahu getek melintasi Sungai Musi di bawah Jembatan Ampera Kota Palembang, Sumatra Selatan, Sabtu (13/4/2024) . (Foto: SumatraLink.id/Mursalin Yasland)

SumatraLink.id – Oleh Mursalin Yasland

Judul ini seperti cerita orang sakti, punya karomah. Tapi, bagi wong Palembang, atau yang pernah singgah ke Kota Palembang, hal itu biasa saja. Tapi, itulah kekhasan sebagian warga Palembang, bisa tiduk di pucuk banyu (tidur di atas air) Sungai Musi, bisa berjalan di atas air, bermain di atas air, dan lainnya.

Tiduk di Pucuk Banyu, itu istilah Bahasa Palembang. Maksudnya, warga berumah di atas sungai. Rumah Rakit, namanya. Lantai dasar dari bambu (bolo) menempel pada permukaan air sungai yang arusnya deras. Sungai itu dinamai Sungai Musi, sungai kebanggaan kota Palembang, Provinsi Sumatera Selatan (Sumsel),

Sungai Musi membelah Kota Palembang; Seberang Ilir dan Seberang Ulu. Airnya mengalir dari hulunya (sejarahnya diketahui) dari Bukit Kelam, kawasan Taman Nasional Kerinci Sebelat (TNKS), Curup, Kabupaten Rejang Lebong, Provinsi Bengkulu. Sungai tersebut menandakan adanya kehidupan manusia: manusia butuh air untuk kehidupannya.

Awalnya air Sungai Musi jernih dan bening, karena dari mata air perbukitan setinggi lebih dari 1.500 meter di atas permukaan laut. Setelah perpaduan sumber air dari berbagai anak-anak sungai lainnya di kiri dan kanan, yang melintasi lebih dari delapan kabupaten di Bengkulu dan Sumatera Selatan, airnya mulai keruh kecoklat-coklatan. Butek, Bahasa Palembang-nya.

Baca juga: Nasi Minyak, Dulu Santapan Keluarga Sultan Palembang

Perpaduan sumber air yang masuk ke Sungai Musi tersebut, mengalir dari hulu hingga ke hilir sejauh 720 km. Aliran sungai akhirnya bermuara di Selat Bangka wilayah Sungsang, Kabupaten Musi Banyuasin. Pertemuan air sungai (tawar) dan air laut (asin) Selat Bangka dapat dilihat bila menyeberang ke Pulau Bangka dengan kapal feri.

Sungai Musi menjadi landmark karena melintasi Jembatan Ampera, di pusat Kota Palembang, ibukota Provinsi Sumsel. Nah, yang mau ke Palembang, belum lengkap kalau belum menginjakkan kakinya di jembatan tua yang dibangun tahun 1960-an dan diresmikan Presiden Sukarno tahun 1965.

Di tengah jembatan terdapat dua menara setinggi 60 meter. Tiang itu mengangkat tengah badan jalan dengan tali besi sling. Tujuannya agar kapal feri (penumpang) atau kapal Mari (kapal layar) dapat melintas.

Baca juga: Nasi Minyak Salah Satu Menu Berbuka Puasa Ramadhan

Sayangnya kedua tiang itu mesinnya tak berfungsi lagi. Sejarah mencatat, saat jembatan diangkat menjadi pusat perhatian warga Palembang kala itu. Dekat jembatan ada Pasar 16 Ilir, Terminal 7 Ulu, pasar berbagai jenis pisang dari dusun di depan Benteng Kuto Besak, dan Masjid Agung Sultan Machmud Badaruddin II.


Rumah rakit di atas Sungai Musi dengan latar belakang Jembatan Ampera, Palembang. (Foto: SumatraLink.id/Mursalin Yasland)
Rumah rakit di atas Sungai Musi dengan latar belakang Jembatan Ampera, Palembang. (Foto: SumatraLink.id/Mursalin Yasland)

Besi-besi Jembatan Ampera mulai berkarat, kebiasaan buruk warga kota kala itu, yang sembarangan membuang air kecil di tengah gelapnya malam. Di sudut-sudut jembatan, baunya pesing.

Lain dulu lain sekarang, kebiasaan buruk itu sudah lenyap, Jembatan Ampera makin keren, apalagi gemerlapan lampunya di malam hari. Siapa yang bisa berada di puncak menara, seluruh kota Palembang terlihat jelas.

Sebelumnya, rumah rakit menjadi pemandangan sehari-hari saat melintasi Jembatan Ampera atau menyusuri sungai dengan perahu getek. Sekarang sudah ada lahir Jembatan Musi II, III, IV, V, dan VI. Rumah rakit memang dirakit dari bambu atau kayu gelondongan sebagai pelampung.

Meski zaman berubah, masih ada yang berumah di atas Sungai Musi. Kehidupan rumah rakit sudah mulai berkurang, tapi masih bisa dilihat beberapa rumah saat ini. Tak ada rasa takut dan khawatir tenggelam atau hanyut bagi penghuni rumah rakit saat air pasang, hujan, atau angin kencang.

Baca juga: Tekwan Palembang, Bukan Makanan Raja

Bagi warga yang biasa hidup di daratan, belum tentu mau atau berniat untuk berumah di atas sungai dengan rumah rakitnya. Alasan, warga berumah rakit di sungai karena harga tanah mahal di kota. Selain rumah, sudah ada tempat makan atau restoran terapung. Pengunjung bisa menikmati sajian kuliner Palembang.

Kondisi rumah rakit di Sungai Musi perlahan mulai tergerus, lantaran perubahan pola hidup generasinya. Saya juga belum tahu dengan program Pemkot Palembang atau Pemprov Sumsel untuk merevitalisasi atau mereproduksi rumah rakit Sungai Musi.

Tapi, mudah-mudahan tetap masih ada kita saksikan secara nyata bukan cerita. Jangan sampai hilang. Menurut saya, tersisanya rumah-rumah rakit di Sungai Musi, menjadi saksi sejarah bahwa Palembang punya peradaban sungai yakni Sungai Batanghari Sembilan atau sembilan anak Sungai Musi.

Advertisement
Berita Terkait
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement