Jumat 17 May 2024 18:40 WIB

LPPOM MUI: Penundaan Wajib Halal 2024 Harus Diiringi Perhatian di Hulu

Yang disoroti hendaknya tidak sekadar isu skala usaha di sektor UMK.

Direktur Utama LPPOM MUI, Muti Arintawati saat acara Liputan Khusus dalam Mini Workshop bertema Urgensi Uji Laboratorium Terhadap Sertifikasi Halal di Aula Buya Hamka, Gedung MUI Pusat di Jakarta pada Kamis (18/1/2024).
Foto: Republika/Fuji E Permana
Direktur Utama LPPOM MUI, Muti Arintawati saat acara Liputan Khusus dalam Mini Workshop bertema Urgensi Uji Laboratorium Terhadap Sertifikasi Halal di Aula Buya Hamka, Gedung MUI Pusat di Jakarta pada Kamis (18/1/2024).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) menilai penundaan Wajib Halal Oktober 2024 yang belum lama ini diumumkan pemerintah harus diiringi dengan perhatian atas masalah lain di hulu.

"Kita perlu melihat secara jeli akar masalah yang ada. Yang disoroti hendaknya tidak sekadar skala usaha di sektor UMK, melainkan perlunya fokus ke pelaku usaha yang memasok bahan yang tergolong kritis dan dipakai di industri lain, terlepas dari skala bisnis pelaku usahanya," kata Direktur Utama LPPOM MUI Muti Arintawati dalam keterangan di Jakarta, Jumat (17/5/2024).

Baca Juga

Muti menilai hal tersebut perlu dilakukan, karena pasokan bahan dan jasa terkait makanan minuman tidak hanya dari pelaku usaha besar, namun juga dapat berasal dari pelaku usaha yang masuk dalam kategori kecil dan mikro.

Ia memberi contoh pada industri yang berkaitan dengan daging, dimana ketersediaan produk sembelihan yang dihasilkan oleh Rumah Potong Hewan/Unggas (RPH/U) menjadi salah satu hal yang perlu diperhatikan.

Menurutnya, daging dan turunannya digunakan dalam pembuatan berbagai jenis produk usaha kuliner, namun tidak semua produk sembelihan dihasilkan oleh pelaku usaha menengah dan besar.

"Banyak daging yang dipasok oleh rumah potong yang tergolong usaha mikro dan kecil (UMK), termasuk yang dihasilkan oleh Tempat Penyembelihan Unggas (TPU) yang ada di pasar dan pemukiman," ungkapnya.

Kelonggaran UMK, kata Muti, jika tanpa disertai komitmen halal yang serius akan memperlama ketersediaan daging halal.

Selain itu, sambungnya, produk kemas ulang ukuran kecil untuk bumbu dan bahan kue (termasuk untuk bahan impor) banyak juga dilakukan oleh UMKM. Ada pula jasa terkait makanan dan minuman yang banyak dioperasikan oleh UMKM, seperti penjualan dan penggilingan daging.

"Ketersediaan bahan dan jasa yang halal akan memudahkan pelaku UMKM dalam membuat produk akhir makanan dan minuman yang halal. Ini seperti efek domino. Jika persoalan di hulu selesai, sebagian besar persoalan kehalalan produk di Indonesia juga akan rampung. Proses sertifikasi halal produk juga akan lebih mudah dan jaminan kehalalannya dapat dipertanggungjawabkan," tuturnya.

Oleh karena itu, Muti menyatakan pihaknya mendorong pemerintah untuk tetap fokus pada penyelesaian permasalahan halal di sektor hulu terlebih dahulu, baik yang diproduksi oleh perusahaan besar, menengah, maupun UMK.

Sebagai Lembaga Pemeriksa Halal (LPH), kata Muti, LPPOM siap mendorong pemerintah dalam menyukseskan implementasi regulasi wajib halal yang dicanangkan pemerintah demi terwujudnya cita-cita Indonesia menjadi pusat halal dunia.

sumber : ANTARA
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement