Selasa 27 Nov 2018 15:20 WIB

I Gusti Ngurah Rai Gugur Secara Ksatria

Pahlawan dari Bali itu gugur dalam pertempuran puputan margana

Rep: Andrian Saputra/ Red: Karta Raharja Ucu
I Gusti Ngurah Rai
Foto: IST
I Gusti Ngurah Rai

REPUBLIKA.CO.ID, Dua puluh November 1946, salah seorang pahlawan asal Bali, I Gusti Ngurah Rai gugur. Ia gugur dalam pertempuran di Marga Kabupaten Tabanan, Bali. Pertempuran melawan pasukan Belanda itu pun menjadi akhir perjuangan Ngurah Rai bersama pasukannya.

I Gusti Ngurah Rai merupakan lulusan pendidikan militer Corps Opleiding voor Reserve Officieren (CORO) atau pendidikan perwira cadangan di Magelang, Jawa Timur. Setelah selesai menjalani pendidikan militernya, I Gusti Ngurah Rai menjadi seorang perwira di Korps Prayudha Bali dengan pangkat letnan dua. Setelah proklamasi kemerdekaan, I Gusti Ngurah Rai yang kemudian berpangkat Kolonel mendapat tugas membangun Tentara Keamanan Rakyat (TKR) di Bali yang kemudian diberi nama TKR Sunda Kecil.

Awal Maret 1946, sekitar 2.000 tentara Belanda mendarat di Bali. Tujuannya untuk menguasai Pulau Dewata menyusul hasil perundingan Linggarjati yang menyatakan kekuasaan de facto Republik Indonesia yang diakui hanya Jawa, Madura dan Sumatra.

JB Soedarmanta dalam Jejak-Jejak Pahlawan menjelaskan kedatangan Belanda ke Bali sebagai tujuan untuk mematahkan perjuangan mewujudkan NKRI dengan cara membuat negara-negara boneka di Indonesia Timur dan Kalimantan. Kedatangan Belanda itu tak diketahui I Gusti Ngurah Rai, sebab dia tengah berkonsultasi ke markas besar TKR di Yogyakarta.

“Pasukan Sunda Kecil yang dibentuknya tercerai-berai menjadi pasukan-pasukan kecil tanpa koordinasi dan kesantuan komando,” kata JB Soedarmanta. 

I Gusti Putu Antara dalam tulisan Monumen Itu di Pantai Buleleng menyebutkan setelah kedatangan Belanda pada awal Maret sejumlah tokoh seperti Gubernur Sunda Kecil, Ida Bagus Puja, Kepala KNI Manumba dan I Gusti Wirya telah ditangkap dan diangkut ke Denpasar oleh Brigade YKNIL di bawah pimpinan kapten Smith. Sementara itu setelah tiba di Bali dan mengetahui kondisi yang terjadi, I Gusti Ngurah Rai pun langsung bergegas menyusun kekuatan. Dia kembali mengumpulkan pasukannya yang terpecah yang kemudian dikenal dengan pasukan ciung wanara.

“Setelah mendengar kabar bahwa Letkol I Gusti Ngurah Rai sudah mendarat di Pulukan Jemberana, maka semangat kami pun timbul kembali. Konsolidasi mulai lagi. Para tokoh pimpinan pejuang. Ida Bagus Mahadewa, Dewa Suwidja, Pak Item alias Pak Widjana serta Pak Cilik ternyata sudah siap dengan perang geriliya,” tutur I Gusti Putu Antara.

Kehadiran I Gusti Ngurahr Rai dan keberhasilannya mengumpulkan dan membentuk kembali pasukannya, membuat Belanda khawatir. Belanda kemudian melancarkan diplomasinya dengan mengirimkan surat yang ditulis Kapten JMT Kunie agar I Gusti Ngurah Rai dan pasukannya dapat bekerja sama dengan Belanda. Kendati demikian, I Gusti Ngurah Rai menolak kerja sama itu, dan menegesakan agar Belanda segera pergi meninggalkan Bali.

Perang pun tak terhindarkan. Pada 18 November pasukan-pasukan I Gusti Ngurah Rai menyerang posko-posko Belanda di sejumlah lokasi seperti di Tabanan yang kemudian bisa direbut. Serangan itu pun membuat Belanda kewalahan hingga akhirnya meminta bantuan dari kesatuannya yang ada di Lombok.

Mengetahui strategi Belanda, I Gusti Ngurah Rai pun langsung bergerak cepat dengan memindahkan pasukan kecilnya ke Desa Marga. Meski kemudian Belanda melakukan serangan balasan, tetapi pasukan ciung wanara berhasil memukul mundur Belanda.

Setelah datangnya bantuan dari lombok, pada 20 Novemer 1946 Belanda pun menyerbu pertahanan pasukan I Gusti Ngurah Rai di Desa Marga. Dari udara, Belanda membombardir desa itu dengan serangan pesawat tempur. Sementara artileri dengan pasukan bersenjata lengkap menyerang dari darat.

Pasukan I Gusti Ngurah Rai pun terpojok. Dalam kondisi itu, I Gusti Ngurah Rai mengeluarkan Seruang Puputan yakni bertempur habis-habisan.

“Dalam pandangan pejuang dari Bali itu, lebih baik bertempur sampai mati secara ksatria daripada jatuh ke tangan musuh,” kata JB Soedarmanta.

Dalam pertempuran itu, I Gusti Ngurah Rai dan pasukannya gugur. Pertempuran itu pun dinamakan pertempuran puputan margana yang berarti pertempuran habis-habisan di Marga.

Atas jasanya itu, I Gusti Ngurah Rai pun ditetapkan sebagai pahlawan nasional dengan dianugerahi bintang mahaputra dan kenaikan pangkat menjadi Brigadir Jendral TNI (Anumerta) I Gusti Ngurah Rai. Namanya pun diabadikan menjadi nama Bandar Udara I Gusti Ngurah Rai Bali yang selalu ramai setiap waktu.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement