REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Alwi Shahab
Suasana China Town pada 1949 seolah-olah berada di daratan Cina. Huruf-huruf Mandarin terlihat mencolok untuk menunjukkan nama toko dan produk yang dihasilkan. Gedung-gedung dengan genting-genting yang menjadi ciri khas kediaman masyarakat Cina, kini hampir tidak kita temui lagi.
Bagian atas yang runcing dari genting tersebut menandai tingkat status sosial pemiliknya. Konon, makin runcing makin tinggi martabat penghuninya.
Kawasan Petak Sembilan -salah satu pusat perdagangan di Glodok, Jakarta Barat. Di sana ada sebuah toko Kleermaker penjahit yang di bagian atasnya dengan mencolok memakai huruf Mandarin. Demikian juga toko obat di kirinya. Di Glodok kita bisa jumpai toko obat dan sinshe yang jumlahnya menjamur. Obat-obat Cina banyak terdapat meskipun ada yang mengkhawatirkan efek sampingnya.
Selain itu, beberapa oplet buatan 1940-an kerap mangkal di sekitar Petak Sembilan. Kendaraan ini berasal dari mobil sedan Austin yang dijadikan angkutan penumpang dan bodinya terbuat dari kayu.
Ketika itu, seperti juga mikrolet, oplet beroperasi hampir di semua jurusan di Jakarta. Sejak masa kolonial, Glodok memang ramai didatangi pembeli. Sampai awal 1980-an belum banyak terdapat mal-mal dan tempat perdagangan di Jakarta.
Saya pernah mewawancarai seorang lurah Glodok dan dia menyatakan 60 persen penduduk China Town beragama Budha atau pengikut ajaran Khong Hu Cu dan hampir 40 persen Kristen. Tidak heran kalau di Glodok khususnya di Petak Sembilan kita jumpai sejumlah klenteng yang telah berusia ratusan tahun masih berdiri kokoh seperti kokohnya warga Tionghoa di Indonesia.
Di Glodok lah, pemerintah kolonial Belanda pertama kali mengangkat seorang tokoh Cina sebagai kapiten, semacam lurah dan letnan (kepala kampung), yang bertanggung jawab atas warganya. Setelah warga Cina jumlahnya meningkat, Belanda mengangkat salah seorang tokoh mereka menjadi Mayor (kira-kira semacam camat).
Di pinggiran Glodok pula-diperkirakan sekitar Pasar Pagi dan Kali Besar --pada September 1740 terjadi peristiwa yang sangat memilukan yang belum terjadi hingga saat ini, termasuk 'Peristiwa Mei 1998'. Saat sekitar 5.000 sampai 10 ribu warga Tionghoa-mulai dari bayi hingga kakek dan nenek-nenek-- dibantai oleh pasukan VOC, termasuk para pasien di rumah sakit Cina di selatan Pasar Ikan dan 500 orang lagi yang berada di penjara bawah tanah gedung Sejarah Pemda DKI Jakarta yang ketika itu menjadi Balaikota Batavia.