REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Alwi Shahab
Kabar kenaikan harga Bahan bakar minyak (BBM) non-subsidi jenis pertalite Rp 200 per liter per 24 Maret 2018 kemarin, disayangkan rakyat. Sejak zaman penjajahan, disusul masa Orla, Orba, dan hingga kini, ihwal kenaikan harga kebutuhan sehari-hari selalu menimbulkan gejolak di masyarakat. Bahkan, pada masa pendudukan Jepang (Maret 1942 hingga Agustus 1945), sekalipun pemerintahan bertangan besi, gejolak demikian juga terjadi. Untuk itu sebaiknya kita kembali ke masa pendudukan Jepang.
Pada masa itu akibat Perang Asia Timur Raya sebagian besar kegiatan ekonomi telah lumpuh. Perusahaan dan kongsi perdagangan milik Belanda dan Eropa, serta Cina, hampir serentak tutup. Keadaan yang sama juga terjadi di pasar-pasar dan tempat perdagangan lainnya. Bahan makanan dan kebutuhan sehari-hari ikut lenyap dari pasaran dan sangat sukar dicari. Kala itu, di sektor jual beli, Pemerintah Balatentara Jepang bertindak sebagai perantara dan sekaligus sebagai penyalur.
Agar harga-harga tidak makin membubung, maka ditentukan sejumlah harga kebutuhan pokok masyarakat yang kini dikenal dengan istilah floor price dan ceiling price atawa harga jual terendah dan tertinggi. Rupanya, minyak tanah kala itu merupakan kebutuhan strategis, sekalipun sebagian besar rakyat Indonesia masih menggunakan kayu bakar untuk masak-memasak.
Karena itu Kantor Besar Pemerintahan Balatentara Jepang menentukan penjualan minyak tanah dan BBM lainnya. Tujuannya untuk memudahkan dan ”merapikan” pembagian minyak tanah dan BBM di Jawa. Maka, harga minyak tanah ditetapkan sebagai berikut: satu drum berisi 295 liter senilai 24 perak, isi 190 liter empat perak, dan satu kaleng isi lima liter 40 sen.
Bukan saja mengeluarkan peraturan yang menurunkan harga BBM, Pemerintahan Balatentara Jepang juga mengeluarkan pengumuman penurunan tarif bus kota, dari lima sen jadi tiga sen. Penguasa militer Jepang dikenal sangat ketat dalam mengawasi harga-harga eceran BBM dan berbagai kebutuhan pokok di pasar-pasar.
Tugas pengawasan ini dilakukan oleh polisi militer Jepang, yang dikenal dengan nama Kempetai. Ada istilah saat itu, ”Bila ditangkap Kempetai pulangnya tinggal nama". Dalam pengawasan ini tidak tanggung-tanggung Kempetai menyebarkan mata-mata ke pasar-pasar dan pusat-pusat perdagangan.
Warga antre minyak tanah