Pekan ini menjadi pekan cukup sibuk para warga Jakarta mudik ke kampung halaman masing-masing. Namun, ketika kembali, tidak sedikit yang membawa mengajak saudara, tetangga, maupun kenalan untuk bekerja di Ibu Kota, sehingga penduduk Jakarta akan tambah berjubel. Kedatangan mereka pun menjadi beban Ibu Kota, terutama yang tidak memiliki keterampilan.
Sejak awal 1970-an gubernur Ali Sadikin sudah menyatakan Jakarta sebagai kota tertutup. Kebijakan ini kemudian diikuti para penggantinya. Tapi, rupanya kagak mempan untuk menahan laju urbanisasi. Entah sudah berapa belas kali dilakukan ‘operasi yustisi’ guna menjaring para pendatang baru, tapi hasilnya nihil.
Kembali soal mudik, jutaan warga Jakarta rela dan siap menghadapi berbagai kesulitan agar dapat berlebaran di kampungnya masing-masing. Tidak peduli kemacetan atau ongkos angkutan dengan tarif gila-gilaan. Tapi apa yang mereka alami itu sebenarnya tidak ada artinya dibandingkan penderitaan dan pengorbanan rakyat ketika membangun Jalan Raya Pos dari Anyer ke Panarukan. Jalan sepanjang 1.000 km sekitar Amsterdam sampai Paris itulah yang dilewati sebagian besar pemudik saat ini.
Jalan Raya Pos itu diarsiteki gubernur jenderal Willem Herman Daendels. Karenanya, lebih dikenal dengan sebutan Jalan Daendels. Ia satu-satunya gubernur jenderal yang tidak diangkat Ratu Belanda. Tapi oleh Lodewijk Bonaparte, adik Napoleon pada tahun 1808. Ketika itu Belanda berada dalam cengkeraman Prancis, dan Napoleon mengangkat adiknya sebagai raja Belanda.
Untuk membangun jalan raya sepanjang itu, Daendels dengan kekerasan yang tiada tara mengharuskan para sultan dan bupati agar mengerahkan beribu-ribu pekerja rodi, tanpa imbalan sesen pun. Semua batu untuk peninggian dan pengerasan dibebankan kepada para petani. Sangat berat dan sulit para petani saat mengangkut bahan-bahan untuk jalan raya itu. Apalagi kala belum ada alat-alat berat. Tenaga manusialah yang digunakan untuk mengangkutnya melalui gerobak yang ditarik sapi. Pramoedya Ananta Toer menyebutkan pembangunan jalan itu merupakan genosida atau pembunuhan secara besar-besaran.
Menurut data dari pihak Inggris tidak kurang 12 ribu pekerja mati terkapar dan menggelepar untuk jalan raya yang kini kita nikmati itu.
Sebelum membangun jalan raya tersebut, saat Daendels tiba di Anyer, ia menempuh perjalanan dari Anyer ke Batavia selama empat hari. Setelah ada Jalan Pos hanya ditempuh dalam satu hari, karena saat itu belum diaspal. Sekarang Anyer-Jakarta dapat kita capai dalam satu jam lewat jalan tol.
Sebagai gubernur jenderal yang keras kepala, angkuh dan otoriter, pengagum Kaisar Napoleon dan anak revolusi Prancis ini, pada 12 Nopember 1808 menghancurluluhkan Keraton Surosowan di Banten, yang sampai sekarang puing-puingnya masih dapat kita jumpai. Padahal, saat itu Surosowan merupakan keraton yang megah dan pernah menjadi kediaman 21 sultan Banten.
Sisa-sisa Keraton Surosowan dengan latar belakang menara masjid Banten.
Daendels berang terhadap sikap sultan Banten yang tidak mau mengerahkan rakyatnya untuk jadi korban rodi di Ujung Kulon, yang kala itu berawa-rawa dan menjadi sarang nyamuk malaria. Ribuan pekerja rodi di tempat-tempat lain juga meninggal karena terserang malaria penyakit mematikan kala itu. Kesultanan Islam Banten, sejak masa Batavia-nya JP Coen tidak henti-hentinya mengusik Belanda. Mereka banyak bergerilya dengan markas di sekitar Angke dan Tangerang.
Setelah Jalan Pos dapat diselesaikan dalam waktu hanya satu tahun, jalur dari Batavia-Semarang-Surabaya dapat ditempuh hanya dalam enam hari. Padahal, sebelumnya harus ditempuh selama berbulan-bulan. Kala itu pembangunan Jalan Pos merupakan prestasi yang luar biasa.
Pembangunan Jalan Daendels dari Batavia-Depok-Buitenzorg (Bogor) tidak begitu menghadapi masalah. Tapi ketika jalan harus melewati Cisarua-Puncak-Cianjur terus merambat ke Priangan yang bergunung-gunung dan melewati lembah-lembah, kesulitan terjadi. Dan berkat kegigihan Daendels wilayah itu dapat ditembus. Tentu saja dengan pengorbanan ribuan rakyat kecil yang menjadi pekerja rodi.
Dalam Hikayat Jakarta, penulis Amerika Willard A Hanna melukiskan sosok Daendels. Para petani yang mengenalnya menganggapnya sebagai momok. Para penguasa tradisional menganggapnya sebagai tiran. Sedang orang-orang Belanda di Batavia menganggapnya sebagai pengkhianat, orang yang diragukan dan dibeli oleh Napoleon.
Orang Belanda malah lebih suka diperintah oleh Inggris ketimbang Prancis. Saking setianya kepada Napoleon, ia pernah mengibarkan bendera Prancis di Batavia.
Jalan Raya Pos Daendels ternyata hanya dipakai sebagai alat ekplotasi rakyat Jawa melalui tanam paksa. Komoditi kopi diperdagangkan lewat jalan ini.
Sejarah Daendels di Jawa telah berakhir dengan ditariknya ia dari jabatannya pada 1811, atau hampir dua abad lalu. Tetapi, namanya sebagai seorang tiran terkenal hingga kini.
Jalan raya yang dibuatnya juga tetap terbentang merupakan contoh hasil kekerasan hati perencananya. Jalan yang begitu panjang tersebut melintasi pegunungan-pegunungan, menerobos hutan balantara, jurang-jurang terjal, pantai yang panjang dan lembah yang membentang.
Demi pembangunan jalan itu ribuan pekerja mati dan menderita. Mereka adalah rakyat kecil, yang sampai kini tetap menderita. Karena, itulah kita harus mengingat pengorbanan mereka.
Semestinya pemerintah kini berusaha keras untuk memakmurkan mereka. Bukankah Bung Karno sering berkata, ”Kemerdekaan merupakan jembatan emas menuju kemakmuran.”
TENTANG PENULIS
ALWI SHAHAB, wartawan senior Republika, sejarawan Jakarta. Pria berdarah Arab ini juga menulis puluhan buku terkait sejarah Batavia.