REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Selamat Ginting
Matahari mulai terbenam. Senja menyelimuti cakrawala kepemimpinan politik Jenderal Besar Soeharto. Rezim Orde Baru yang dibangun Presiden Soeharto sejak 1968 memasuki waktu malam. Jelang gelap gulita.
Ya gelap. Justru di saat perwira tentara dan polisi lulusan Akademi Militer (Akmil), Akademi Angkatan Laut (AAL), Akademi Angkatan Udara (AAU), dan Akademi Kepolisian (Akpol) sedang bersinar terang memimpin lembaga Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI). Merekalah yang pertama kali dilantik oleh Presiden Soeharto pada awal masa kepresidenannya, 1968.
Para perwira remaja yang dilantik pada 1968 itu telah menduduki puncak piramida, menjadi bintang empat. Jenderal Wiranto menjadi Panglima ABRI merangkap Menteri Pertahanan dan Keamanan. Laksamana Widodo AS menjadi Kepala Staf Angkatan Laut (KSAL), dan Jenderal Dibyo Widodo menjadi Kepala Polri.
Adapun Kepala Staf Angkatan Udara (KSAU), Marsekal Sutria Tubagus juga dilantik sebagai perwira remaja pada 1967 oleh Jenderal Soeharto yang saat itu baru sebagai pejabat Presiden. Sedangkan Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD), Jenderal Subagyo HS merupakan lulusan Akademi ABRI (Akabri) pertama, tahun 1970. Tentu saja dilantik oleh Presiden Soeharto. Jadi, praktis pimpinan TNI dan Polri saat itu hasil pelantikan oleh Soeharto dan bukan lagi oleh Presiden Sukarno.
Namun, Mei 1998 seperti senjakala bagi jenderal bintang lima Soeharto. Suasana politik dan keamanan ibukota negara sedang panas. Tetapi pada saat bersamaan, Presiden Soeharto tetap mengagendakan kunjungan kenegaraan ke Kairo, Mesir. Sebuah kunjungan yang tidak begitu penting, namun dipaksakan.
Ia kemudian mempercepat kepulangannya ke Jakarta dan tiba dinihari Jumat 15 Mei. Presiden lima periode itu, segera mengumpulkan para pembantunya, mulai dari Wakil Presiden, para menteri dan para jenderal pemegang komando keamanan. Utamanya untuk mendengarkan laporan lengkap peristiwa kerusuhan yang melanda Jakarta.
Pagi keesokan harinya, Presiden yang telah uzur dan berusia 77 tahun itu mengeluarkan Instrusksi Presiden No.16 tentang pembentukan Komando Operasi Kewaspadaan dan Keselamatan Nasional. Agak mirip dengan Kopkamtib (komando operasi pemulihan keamanan dan ketertiban) yang dibentuk Presiden Sukarno pada Oktober 1965, usai peristiwa Gerakan 30 September 1965.
Komando yang dibentuk pada 17 Mei 1998 itu memiliki wewenang yang besar berdasarkan wewenang yang dimiliki Soeharto sebagai pengemban Tap MPR No.V/1998. Instruksi ini banyak diinterpretasikan semacam Surat Perintah 11 Maret 1996 yang dulu diperoleh Soeharto dari Presiden Sukarno.
Surat perintah itu diberikan kepada Jenderal Wiranto. Namun kepemimpinan Wiranto yang lemah tidak mampu menghimpun seluruh potensi ABRI, utamanya dalam menjamin terwujudnya keamanan dan keselamatan nasional. Perintah Presiden Soeharto tidak mampu dilaksanakannya dengan baik.
Presiden Soeharto menyadari ketidakjelasan sikap Wiranto, bekas ajudannya. Ia kemudian menawarkan kepada KSAD Jenderal Subagyo HS untuk memegang jabatan Panglima Komando baru itu menggantikan Wiranto. Tetapi sikap dan jawaban Subagyo, bekas pengawal pribadi Soeharto, juga tidak jelas. Subagyo gamang dan Wiranto lemah.