Rabu 22 Jun 2016 11:31 WIB

Rasionalitas Agama Sukarno

Red: Joko Sadewo
Sukarno dan H. Agus Salim di Brastagi.
Foto:
Sukarno bersama M Natsir

Sejak dari Surabaya pengaruhi Islam sudah terlihat kuat dalam diri Sukarno. Sejarawan Ongkhoam pada artikel Sukarno: Mitos dan Realitas, menulis pada tahun 1911, Sukarno mulai menerbitkan tulisan-tulisan pertamanya dalam penerbitan nasionalis Oetosan Hindia. Sukarno menulis ”hancurkan segera kapitalisme yang dibantu oleh budaknya imperialisme. Dengan kekuatan Islam, InsyaAllah itu segera dilaksanakan.”

Sukarno semakin banyak mempelajari Islam ketika ia dibuang ke Ende, Flores. Dalam masa pengasingan tersebut Sukarno berkorespodensi dengan pendiri Persatuan Islam “Persis” T.B Hasan. Pada surat pertamanya Sukarno meminta kepada Hasan untuk dikirimkan beberapa buku Islam. Buku-buku yang ia minta di antaranya Pengajaran Shalat, Utusan Wahabi, Al-Muchtar, Debet Talqien, Al-Burhan, dan kitab Al-Jawahir.

Ia juga meminta Hasan untuk mengirimkan risalah tentang “sajid”. Dalam korespondensinya Sukarno sangat menentang aristokrasi. “Tiada satu agama yang menghendaki kesama-rataan lebih daripada Islam,” tulis Sukarno di surat pertamanya yang tertanggal 1 Desember 1934.

Saat di Ende, Sukarno percaya sumber konservatifisme dan kekolotan berasal dari Hadist-hadist yang dhaif dan palsu. Peter mengatakan Islam Sukarno sebagai Islam yang rasional. Hal ini juga terlihat dalam beberapa surat yang ia kirim kepada T.B Hasan. Kepada Hasan ia meminta “Keterangan Hadist Mi’raj” yang ditulis Essad Bey.

“Menurut keyakinan saya, tak cukuplah orang menafsirkan mi’raj itu dengan “percaya” saja. Yang rasionalistik di sini ada. Siap kenal sedikit ilmu psikologi dan para-psikologi, ia bisa mengasih keterangan yang rasionalistik itu. Kenapa sesuatu hal harus di “gaib-gaibkan”, kalau akal sehat sedia menerangkannya?” tulis Sukarno.

Di Ende, Sukarno memang benar-benar membebaskan dirinya dari tahayul. Pada periode ini ia benar-benar berusaha rasional atas segala sesuatu. Dalam buku 'Soekarno Penyambung Lidah Rakyat', Sukarno bercerita suatu ketika di Bandung ada seseorang  yang memberinya cincin dengan hiasan batu. Di dalam batu itu terdapat lubang berisi cairan hitam yang tak akan tumpah. Orang tersebut mengatakan kepada Sukarno, batu tersebut mengandung kekuatan tertentu. Tapi tidak lama kemudian ia dibuang ke Ende. Kepercayaannya pada hal gaib pun hilang.

Suatu ketika Sukarno butuh uang. Ia memang terkenal tidak pernah memiliki uang. Dompet pun ia tidak punya. Tapi waktu itu ia benar-benar membutuhkan uang. Ia mempunyai seorang kenalan saudagar kopra yang kaya. Sukarno pun berhasil menjual batu cincin tersebut kepada saudagar kopra seharga Rp 150. Dan sejak itu ia terbebas dari tahyul.

“Dan demikian aku melepas hartaku terakhir, yang disebut sebagai pembawa keberuntungan itu. Dengan telah terbebasnya aku dari tahyul, tidakkah aku harus berterima kasih kepada Flores?” katanya.

Di Ende, Sukarno tidak hanya membaca buku-buku Islam. Ia juga menerjemahkan biografi Ibnu Saud dari bahasa Inggirs ke Bahasa Indonesia. Saat itu keuangan keluarga Sukarno benar-benar terjepit. Tidak hanya karena pembuangannya tapi juga karena saat itu sedang masa The Great Derpression yang menjalar ke seluruh dunia tidak terkecuali Hindia Belanda. Di Hindia Belanda The Great Derpression disebut Maliese.

Sukarno meminta T.B Hasan untuk dicarikan orang yang mau membeli manuskrip terjemahannya itu untuk meringankan beban ekonomi keluarganya di Ende. Tapi di satu sisi Sukarno juga melihat terjemahannya sebagai sebuah confension ‘pengakuan’. Sukarno melihat elemen amal dan perbuatan sebagai sesuatu yang dikobar-kobarkan dalam buku tersebut.

Sukarno tidak hanya membaca dan berdiskusi dengan kelompok Islam. Ia juga aktif di dalamnya. Selain pernah terlibat di Serikat Islam, Sukarno pernah jadi guru di Sekolah Rakyat Muhammadiyah. Pada bulan Febuari 1938 pengasingan Sukarno dipindah ke Bengkulu.

Di Bengkulu ia bertemu dengan tokoh Muhammadiyah setempat Hasan Din. Ia diminta mengajar dengan syarat tidak bicara politik. Sukarno pun tersenyum dan menyanggupinya.

“Kecuali hanya akan kusebut bahwa Nabi Muhammad selalu mengajarkan kecintaan pada tanah air,” kata Sukarno.

Tidak hanya mengajar ia juga banyak terlibat dengan masyarakat dan Muhammadiyah. Ia juga mengajar para guru Muhammadiyah. Menyelenggarakan Seminar Antar pulau Sumatra-Jawa dan berhasil mengemukakan kepada para pemimpin agama yang ikut dalam seminar tersebut rencana memodernkan Islam.

Peter melihat periode Surabaya, Sukamiskin, Ende dan Bengkulu menjadi periode Sukarno belajar, memahami dan menyerap ajaran Islam. Periode-periode ini yang terus mempengaruhi Soekarno hingga melahirkan Pancasila dan menjadi proklamator.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement