REPUBLIKA.CO.ID, TEL AVIV – Kerusuhan yang dipicu nyanyian rasisme pendukung Maccabi Tel Aviv meledak selepas pertandingan klub itu melawan Ajax Amsterdam pada Kamis (7/11/2024). Klub itu ternyata memang punya sejarah panjang Zionisme dan rasisme.
Ironisnya, merujuk the Palestine Chronicle, saat mulai berlaga pada 1930-an, klub Maccabi Tel Aviv kerap menggunakan nama Palestina. Seluruh pemainnya adalah imigran yahudi yang tiba di wilayah Palestina untuk kelak mendirikan negara Zionis Israel.
Di Israel, sejauh ini status klub paling rasis kerap disematkan pada Beitar Jerusalem yang tidak pernah memiliki pemain Arab dan lebih kerap dikaitkan dengan rasisme di kancah sepak bola Israel dengan fans ultrasnya La Familia. Namun, sejak lama rasisme juga mulai jadi ciri khas Maccabi Tel Aviv.
Merujuk media independen Israel-Palestina, +972 Magazine, Maccabi Tel Aviv, sempat mencoba menyelundupkan pemain Palestina yang siap bermain untuk mereka. Namun, penggemar Maccabi secara konsisten mengutuk pemain Arab di tim mereka, mulai dari bintang akuisisi hingga lulusan akademi muda klub. Mereka memberikan tekanan pada manajemen klub, yang dengan cepat melepaskan “beban” yang tidak perlu dengan memperdagangkan pemain tersebut.
Sejak klub tersebut diambil alih pada tahun 2009 oleh Mitch Goldhar, seorang Zionis Kanada kaya raya, jumlah pemain Arab terus berkurang. Musuh bebuyutan klub ini adalah Bnei Sakhnin, yang merupakan klub keturunan Arab Palestina tersukses di Israel.
Saat melawan Sakhnin, penggemar Maccabi kerap melantunkan nyanyian rasis di tribun. Mereka juga akan mengibarkan bendera Israel dalam jumlah berlebihan saat bermain melawan Sakhnin. Penerimaan manajemen terhadap perilaku rasis para penggemar ini telah melahirkan budaya rasisme di Maccabi Tel Aviv, yang pada gilirannya menciptakan ketegangan politik yang tidak sehat antara Maccabi Tel Aviv dan Sakhnin.
Rasisme di klub itu semakin dimungkinkan oleh fakta bahwa Maccabi tidak terdeteksi oleh media Israel, yang lebih memilih untuk fokus pada brutalnya para penggemar Beitar Jerusalem. Rasisme arus utama ini, seperti yang digambarkan oleh Maccabi Tel Aviv, biasanya bersembunyi di balik rasisme yang lebih terang-terangan dan vokal dari Beitar dan para penggemarnya.
Di bawah kedok pemilik Ashkenazi, berbeda dengan bos Beitar yang berasal dari Yaman, Maccabi sebenarnya adalah klub yang tidak kalah rasisnya dengan Beitar. Namun Maccabi menikmati status istimewanya di media, yang akan terus menyebut Beitar sebagai klub sepak bola paling rasis di negara tersebut.
Media Jerman Deutsche Welle melansir, pada 2020, Saat protes terhadap Benjamin Netanyahu berkecamuk di Yerusalem, di Tel Aviv, sekelompok pemuda menyerang pengunjuk rasa anti-Netanyahu dengan pentungan dan pecahan botol. Video serangan tersebut dibagikan secara luas di media sosial, dan pengguna awalnya berasumsi La Familia bertanggung jawab atas serangan tersebut. Namun, belakangan diketahui bahwa para penyerang adalah anggota kelompok ultras Maccabi Tel Aviv, Maccabi Fanatics.
Pada 2014, sekelompok pendukung di gerbang 11 Stadion Bloomfield, markas kelompok ultras Maccabi Tel Aviv, meneriakkan hinaan rasis ke arah Mahran Radi, seorang Arab-Israel yang saat itu bermain untuk klub tersebut. Graffiti juga disemprotkan di kawasan Tel Aviv, bertuliskan: "Kami tidak ingin orang Arab di Maccabi!" dan "Radi sudah mati."
Berbicara tentang waktunya di klub paling berprestasi Israel di panel tahun 2019, Radi, mantan pemain internasional Israel, menjelaskan bagaimana beberapa rekan pemainnya mencoba mengatur pertemuan dengan para pendukung yang melakukan pelecehan rasial terhadapnya, termasuk kapten tim dan legenda Maccabi Tel Aviv Sheran Yeini , yang menyarankan kedua belah pihak akan bertemu untuk membicarakan masalah tersebut. “Beberapa hari kemudian, Yeini kembali dan mengatakan kepada saya bahwa ‘kami tidak bisa berbuat apa-apa, mereka (pendukung Maccabi) membenci orang Arab’,” kata Radi.
Menjabat sejak tahun 2009, pemimpin sayap kanan Netanyahu adalah pemimpin yang paling lama menjabat dalam sejarah negara tersebut, meskipun solusi terhadap konflik Israel-Palestina tampaknya semakin mustahil.
Uri Levy, pendiri dan pemimpin redaksi blog sepak bola Timur Tengah Babagol menuturkan, fenomena kelompok penggemar sayap kanan yang menggunakan tenaga mereka untuk tujuan politik tidak terjadi dalam ruang hampa.
“Fenomena ini datang dari jalanan ke stadion, lalu kembali lagi ke jalanan setelah beberapa minuman energi,” katanya. “Anda tidak bisa memisahkan sepak bola dan politik Israel, untuk baik atau buruknya.”
Provokasi di Amsterdam...