Senin 03 Apr 2017 13:05 WIB
Saat Para Perempuan Memimpin Aceh

Safiatuddin, Sang ‘Muslimah Sempurna’

Warga mengikuti pawai adat di Banda Aceh, beberapa waktu lalu. (zarqoni/antara)
Foto: ANTARA
Warga mengikuti pawai adat di Banda Aceh, beberapa waktu lalu. (zarqoni/antara)

Oleh Fitriyan Zamzami, wartawan Republika

“Prosesi pemakaman dilakukan dengan keagungan kerajaan; diikuti jejeran pangeran-pangeran, para bangsawan; sebanyak 260 gajah berhiaskan sutra mewah dan gading diimbuhi emas dan perak, lainnya dihiasi bendera-bendera dengan benang emas dan perak; Badak-badak dan kuda persia dengan hiasan-hiasan mahal dari logam mulia. Barisan perempuan mengawal proses pemakaman. Peti sang raja dilapisi suassa, dan diselimuti kain emas. Pada akhir prosesi, jenazah sang raja yang mangkat ditempatkan di pemakaman kerajaan di samping para leluhur. Ratusan hari mendatang, perempuan-perempuan datang membawakan tembakau, makanan, dan minuman laiknya sang raja masih hidup. Begitu jenazah sang raja berkubang tanah, dua meriam perak ditembakkan, suaranya menggema memenuhi malam, di sela teriakan-teriakan 'Hiduplah Sang Ratu!'. Selepasnya, seluruhnya tenang dan damai…”

-Kesaksian Nicolaus de Graff, seorang ahli bedah Belanda di Aceh pada 1641-

REPUBLIKA.CO.ID, Kematian Iskandar Tsani, seorang pangeran Pahang yang ditunjuk menggantikan raja legendaris Aceh, Iskandar Muda, menimbulkan geger pada pertengahan abad ke-17. Pasalnya, pria tersebut wafat pada 1641 tanpa meninggakan putra-putri sebijipun.

Nasib Kesultanan Aceh, salah satu kerajaan terbesar di utara Pulau Sumatra yang telah berdiri sejak ratusan tahun sebelumnya pada 1507, di ujung tanduk.  Dalam situasi seperti itu, para ulama, tokoh, dan pemuka kerajaan saat itu harus mengambil keputusan siapa yang harus menggantikan Iskandar Sani.

Nasab keturunan Iskandar Tsani yang berasal dari Kerajaan Pahang membuat para tokoh pribumi Aceh enggan mempertimbangkan saudara-saudaranya dari semenanjung Melayu sebagai calon raja. Mereka khawatir kerajaan Aceh akan diambil alih penguasa dari kerajaan-kerajaan Melayu seperti Johor, Perak, atau Pahang.

Kandidat yang mengemuka saat itu adalah putri Iskandar Muda yang bernama Putri Seri Alam, istri Iskandar Tsani yang saat itu berusia 29 tahun.  Menurut Tiar Anwar Bachtiar, dosen Sejarah Islam pada STAI Persis Garut, dalam tulisannya untuk Republika pada 2014, selain memiliki kecakapan dari segi agama dan ilmu pengetahuan untuk mengelola negara, Putri Seri Alam adalah anak dan istri raja, sehingga akan sangat memahami bagaimana kerajaan dikelola. 

Selain itu, Putri Seri Alam sejak kecil sudah didorong ayahnya belajar kepada para ulama dan ilmuwan kerajaan. Menurut Tiar, di antara guru-gurunya adalah Syekh Hamzah Fansury, Syekh Nuruddin Ar-Raniry, Syekh Faqih Zainul Abidin Ibnu Daim Mansur, Syekh Kamaluddin, Syekh Alaiddin Ahmad, Syekh Muhyiddin Ali, Syekh Taqiy yudin Hasan, Syekh Saifuddin Abdul kahhar, dan lainnya. Putri Seri Alam juga menguasai bahasa Arab, Persia, Spanyol, dan Urdu. Tak berhenti di situ, ia juga diketahui memiliki pengetahuan mendalam soal ilmu fikih, sejarah, mantik, falsafah, tasawuf, dan sastra.

Meski begitu, di kalangan ulama muncul perbedaan pendapat mengenai boleh tidaknya seorang perempuan memimpin kerajaan. Nuruddin Ar-Raniry, salah satu ulama yang paling disegani se-Aceh saat itu, menilai kondisi tak memberikan pilihan lain, dan ia memegang pendapat bahwa perempuan boleh jadi pemimpin selama ia memiliki kualitas-kualitas yang dibutuhkan. Ia menilai kualitas-kualitas seperti amanah, adil, dan memiliki keluasan ilmu sudah ada dalam diri Putri Seri Alam. 

Pandangan Ar-Raniry tersebut kemudian diamini sebagian ulama dan didukung para tokoh yang kala itu dikenal sebagai golongan “orangkaya”, dan Putri Seri Alam naik tampuk. Ia kemudian digelari Tajul Alam Safiatuddin Syah.

Gambar Sultanah Safiatuddin hasil rekonstruksi pelukis Belanda. Direproduksi dari buku "59 Tahun Aceh Merdeka di Bawah Kepemimpinan Ratu" karya A Hasjmy (1977).

Menurut sejarahwan Sher Banu A Latief Khan dalam tesisnya untuk London University “The Sultanahs of Aceh (2009)” Safiatuddin punya beban warisan kejayaan yang tergolong berat. Ayahnya, Iskandar Muda, adalah satu sultan paling berjaya dalam sejarah kesultanan. Ia ternama dengan ekspedisi-ekspedisi militer yang berhasil meluaskan rentangan wilayah kerajaan Aceh dari pesisir Minangkabau hingga semenanjung Malaysia. Sepanjang masa kepemimpinan Iskandar Muda dari 1607 hingga 1936, Kesultanan Aceh mengalami kejayaan yang belum pernah mereka capai sebelumnya.

Selain itu, Kawasan Selat Malaka tengah tak jenak kala Safiatuddin naik singgasana. Perusahaan-perusahaan kolonialis dari Belanda dan Inggris sedang gencar-gencarnya merebutkan jalur dagang di Selat Malaka. Berbagai blokade jalur dagang dan pelabuhan dilakukan, darah-darah ditumpahkan. 

Berbeda dengan ayahnya, Safiatuddin tak sedemikian memiliki keahlian di bidang kemiliteran dan tak gemar berperang. Namun, ia mengkompensasi hal itu dengan diplomasi yang cermat. Membangun aliansi dan mencari dukungan untuk menghalau ancaman-ancaman terhadap kerajaan. Surat-surat Safiatuddin untuk berbagai pihak banyak yang masih bertahan hingga saat ini dan menggambarkan kelihaiannya berdiplomasi.

Negara-negara Eropa seperti Portugis, Inggris, Spanyol, dan Belanda, dan Turki Utsmani, seluruhnya memiliki catatan tentang Safiatuddin menyusul kebiasaannya bersurat tersebut. Kecakapannya berdiplomasi berhasil mencegah Aceh dirongrong kekuatan-kekuatan kolonialis selama 34 tahun masa pemerintahannya.

“Seperti yang dikata orang, ingatlah dua hal dalam hidup, yakni Tuhanmu dan kematian. Lupakan dua hal dalam hidup, yakni kebaikan yang telah engkau lakukan dan keburukan yang dilakukan orang-orang terhadapmu, agar kesadaranmu tetap jernih dan tenang,” tulisnya dalam surat kepada Gubernur Jenderal Batavia Joan Maetsuyker pada 1659 untuk menawarkan perdamaian dengan pihak Belanda.

Kendati dalam sejumlah kesempatan, Ratu juga tak ragu menggunakan jalan perang guna menegaskan kedaulatan wilayahnya. Dua peristiwa yang menggambarkan hal itu adalah saat Sultanah memerangi VOC di Perak dan pantai barat Sumatra karena menganggap VOC telah melanggar kedaulatan Aceh.

Sultanah juga dikenal karena mendorong kemajuan lewat budaya dan ilmu pengetahuan. Ia tercatat memajukan Jami’ Baiturrahman di Banda Aceh. Demikian juga dayah-dayah (pesantren-pesantren) di seluruh daerah wilayah kekuasaan Aceh. Di bantu Ar-Raniry dan Abdurrauf Singkil sebagai mufti kerajaan, Safiatuddin tercatat sebagai pemimpin yang adil dan cerdas.

Safiatuddin juga disebut tak sedemikian represif terhadap para penentangnya. Tiar menuliskan, para ulama yang sempat menolak kepemimpinannya, yang jumlahnya sekira 300 orang,  dibiarkan pindah dari Banda Aceh untuk mendirikan lembaga-lembaga pendidikan. Di antaranya, Syekh Abdul Wahhab diizinkan hijrah ke Tiro dan mendirikan dayah di sana. Dayah Syekh Abdul Wahhab ini berkembang sangat pesat menjadi salah satu dayah terbesar di Aceh. Safiatuddin tidak mengganggu perkembangan dayah ini walaupun pendirinya berseberangan dengannya.

Pada masa kepemimpinan Safiatuddin, para ulama juga didorong menelurkan karya-karya yang masih dijadikan rujukan hingga kini. Syekh Ar-Raniry, misalnya, menulis kitab Hidayatul-Iman bi Fadhlil-Manan dalam bahasa Melayu sesuai permintaan Safiatuddin. 

Abdurrauf Singkil juga diminta menulis kitab yang kemudian diberi judul Mir’atut-Thullab fi tashili Ma’rifatil-Ahkam serta sembilan kitab lainnya.  Sementara Syekh Daud Ar-Rumy menulis Risalah Masailal Muhtadin li Ikhwanil Mubtadi atas permintaan Sultanah. Kitab-kitab itu kemudian dianjurkan agar dibaca masyarakat umum karena isinya diperuntukkan bagi kalangan awam.

Sultanah juga melanjutkan kebijakan pendahulunya membuka lembaga-lembaga pendidikan bagi perempuan. Tiar Anwar Bachtiar menuliskan bahwa kebijakan itu berimplikasi pada pembukaan kesempatan bagi kaum perempuan untuk turut ikut ambil bagian dalam berbagai bidang pekerjaan yang memungkinkan mereka melakukannya. 

Sedangkan Latief Khan mencatat bahwa pada masa pemerintahan Sultanah Safiatuddin, Balai Majelis Mahkamah Rakyat akhirnya tak melulu diisi kaum lelaki. Puluhan perempuan juga masuk dalam lembaga setingkat perlemen tersebut. 

Terlepas dari statusnya sebagai perempuan yang dibatasi dari memimpin ritual-ritual keagamaan, Safiatuddin tak melakukan pemisahan antara politik dan agama. Ia kerap merujuk dirinya sebagai penegak hukum-hukum Allah. 

Tak heran, Safiatuddin juga terkenal dengan kesalehannya. Al Mutawakkil, seorang pengelana Muslim dari Timur Tengah mengenang, sempat dijamu oleh Sang Sultanah saat berkunjung ke Aceh. “Ia seorang Muslimah sempurna yang sangat baik hati dan dermawan. Ia pandai membaca (saat itu keahlian membaca tak jamak di kalangan perempuan) dan menguasai ilmu pengetahuan,” tulis Al Mutawwakil pada abad ke-17.

Para penulis Belanda juga mengenang bahwa saat Ramadhan tiba, Safiatuddin tak pernah lepas berpuasa kecuali bila ada halangan. Ia kerap meminta maaf kepada para tamu tatkala tak bisa menyajikan makanan dan minuman pada siang hari Ramadhan. Sultanah Safiatuddin juga mempraktikkan toleransi beragama dengan mengizinkan sejumlah rahib Fransiskan mendirikan gereja guna melayani para pemeluk Katolik di Aceh. 

Secara khusus, Safiatuddin mendidik dan menggembleng tiga perempuan yang ia rencanakan bakal menggantikan dirinya. Di antaranya, Putri Naqiah, Putri Raja Setia, dan Putri Punti. Silsilah ketiga perempuan tersebut berbeda-beda menurut para sejarahwan. 

Sebagian meyakini Naqiah adalah anak angkat Safiatuddin dan dua lainnya adalah putri kandungnya. Lainnya menilai Putri Punti adalah anak angkat. Sebagian menilai ketiganya tak punya hubungan kekerabatan langsung dengan Safiatuddin.

Safiatuddin akhirnya berpulang pada 1675 pada usia 63 tahun. Pemerintahannya yang relatif tenteram membuat para tokoh tak ragu kembali menunjuk seorang perempuan guna memimpin kesultanan, yaitu Putri Naqiah. n

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement