REPUBLIKA.CO.ID, Perkenalan Sukarno dan Dr Haji Abdul Malik Karim Amrullah (Hamka) bermula di Yogyakarta pada Januari 1941 saat selesainya Muktamar Muhammadiyah ke-30. Saat itu Indonesia belum merdeka dan Sukarno menjadi Presiden Indonesia pertama.
Hubungan keduanya kian akrab saat Sukarno diasingkan ke Bengkulu. Hamka diajak H Abdul Karim (Oei Tjing Hin), Konsul Muhammadiyah Bengkulu, seorang tokoh Cina Muslim, untuk menjenguk Sukarno di pengasingan. Dalam pertemuan sekitar dua jam itu, Hamka dan Sukarno menjadi akrab.
Sukarno mengajak Hamka hijrah dari Medan ke Jakarta pada 1946. Saat itu Sukarno sudah menjadi presiden. Tetapi, Agresi Pertama pada 1947 membuat ajakan Sukarno tertunda.
Satu tahun kemudian, Sukarno mengunjungi Hamka di Buktitinggi, Sumatra Barat. Dalam lawatannya itu, Hamka menghadiahkan Bung Karno sebuah puisi berjudul "Sansai juga aku kesudahannya".
Hamka benar-benar hijrah ke Jakarta pada 1949, setelah penyerahan kedaulatan. Ia memboyong keluarganya ke Ibu Kota.
Sukarno yang mengagumi Hamka meminta sahabatnya itu memberikan wejangan tentang rahasia Isra dan Miraj di Istana Negara pada peringatan Isra dan Miraj Nabi Muhammad SAW. Hamka berulang kali diminta Sukarno mengimami shalat saat acara-acara besar, seperti Shalat Idul Fitri pada 1951 yang digelar di Lapangan Banteng.
Keakraban keduanya mulai merenggang saat Hamka terpilih menjadi anggota Konstituante. Perbedaan ideologi memaksa keduanya bersebrangan.
Hamka yang aktif di Partai Masyumi dan PP Muhammadiyah bersama fraksi Partai Islam memperjuangkan negara berdasarkan Islam. Sementara Sukarno keukeuh mempertahankan negara berdasarkan Pancasila. Hubungan tali silaturahim keduanya pun terputus.
Bertahun-tahun tidak berjumpa, keduanya dipertemukan di sebuah acara kematian. Pada 1962, Hamka mengiringi Mohammad Yamin dari mulai sakaratul maut hingga ke liang lahat, bertemu dengan Sukarno yang datang melayat.
Tetapi, pertemuan itu tidak menyelesaikan masalah. Dua tahun setelahnya Hamka ditangkap atas perintah Sukarno.
Irfan Hamka, putra Buya Hamka mengatakan keluarganya terpukul dengan penangkapan ayahnya. “Betapa beratnya penderitaan kami sepeninggal ayah yang ditahan,” ujar Irfan.
“Buku-buku karangan ayah dilarang. Ayah tidak bisa lagi memenuhi undangan untuk berdakwah. Pemasukan uang terhenti," cerita Irfan.
"Untuk menyambung hidup, ummi mulai menjual barang dan perhiasan. Ayah baru bebas setelah Pemerintahan Sukarno jatuh, digantikan oleh Soeharto. Ayah kembali melakukan kegiatan seperti sebelum ditahan Sukarno.”