REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Stevy Maradona, wartawan Republika
"Foto ini sangat merusak citra IMF!"
Begitu kata James Boughton kepada Bloomberg, awal Juli tahun lalu, saat disodori selembar foto bergambar dua orang. Boughton, mantan sejarawan Dana Moneter Internasional (IMF), dimintai komentarnya terkait foto legendaris yang diambil di Jakarta pada 15 Januari 1998.
Di dalam foto itu ada Michel Camdessus, managing director IMF, dan Presiden Indonesia Soeharto beserta sejumlah menteri dan pejabat lainnya di satu ruangan. Soeharto menunduk ke arah meja. Di belakangnya ada pergola bermotif wayang.
Di atas meja ada beberapa dokumen bermap batik. Ia lalu menandatangani beberapa lembar dokumen letter of intent (LoI) yang berisi Indonesia menerima resep ekonomi dari IMF untuk memulihkan situasi nasional yang memburuk sejak Agustus 1997.
Di belakang Soeharto, dalam momen tersebut, Camdessus berdiri sambil melipat tangannya. Di bagian inilah fotografer dari berbagai media menjepretkan kamera mereka. Foto epik ini menjadi amat terkenal di dunia. Berbagai macam interpretasi muncul melihat pose Camdessus dan Soeharto.
Ada yang menerjemahkan bahasa tubuh Camdessus saat itu sebagai sosok majikan arogan yang sedang menunggu Indonesia, yang seperti kerani, mengharapkan bantuan dana siaga. Benarkah demikian? Menurut Boughton, tidak. Versi IMF, kata Boughton menjelaskan, kisahnya amat berbeda.
Boughton menuturkan, saat itu Camdessus masuk ke dalam ruangan yang besar bersama Soeharto. Camdessus berharap ada dua bangku di balik meja tanda tangan itu. Sehingga ia dan Soeharto bisa duduk berdampingan.
Ternyata protokoler hanya menyediakan satu bangku utama: Untuk Presiden Soeharto. Akhirnya, Camdessus berdiri di samping Soeharto yang duduk. Kemudian Soeharto berdiri untuk menandatangani dokumen. Boughton mengungkapkan, Camdessus saat itu berpikir, "Apa yang harus saya lakukan?". Secara refleks, Camdessus melipat kedua tangannya di depan dada.
"Itu reaksi beberapa detik saja, karena ia tidak tahu harus berbuat apa. Dan kamera langsung menjepretnya," kata Boughton menggambarkan.
Begitulah versi IMF tentang foto yang amat bersejarah itu. Namun, tentu saja bukan citra IMF yang rusak yang menjadi cerita utama. Setelah tanda tangan itu, kita tahu, ekonomi Indonesia justru lebih rusak dan terpuruk. Krisis ekonomi dengan cepat berubah menjadi krisis sosial politik.