REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kerusuhan malapetaka lima belas Januari (Malari) yang terjadi 45 tahun silam disebut-sebut momentum munculnya hegemoni militer dalam gerakan demokratisasi sipil era Orde Baru setelah runtuhnya Orde Lama. Malari juga menjadi besar bukan semata-mata karena aksi-aksi pembakaran yang dilakukan mahasiswa.
"Malari adalah demo terbesar saat Pak Harto berkuasa pascakejatuhan Bung Karno," kata sejarawan militer, Erwin Jose Rizal ketika dihubungi Republika.
Erwin berkata, peristiwa besar karena beragam teori yang bermunculan pasca-Orla. "Teori lama menyebut Malari sebagai persaingan antara Ali Moertopo dan Soemitro dalam merebut pengaruh Pak Harto," ujarnya.
Saat Malari terjadi Ali Moertopo menjabat sebagai staf khusus presiden. Sementara Soemitro menjabat sebagai Panglima Komando Keamanan dan Ketertiban (Pangkokamtib). Dalam konteks ini, kata Erwin, Soemitro mesti rela kehilangan jabatan lantaran dianggap gagal menjaga ketertiban demo mahasiswa.
Teori lain kata Erwin menyebut peristiwa Malari hanya semacam tes kekuatan Soeharto di internal TNI. Erwin menjelaskan, pascakejatuhan Sukarno masih ada sejumlah elite militer yang bersimpati pada ajaran Sukarno.
Menurut dia, elite-elite itu kecewa dengan politik ekonomi Orde Baru yang lebih mengedepankan bantuan asing sebagai modal pembangunan. Kekecewaan ini lantas mendapatkan momentum ketika Perdana Menteri Jepang Kakuei Tanaka, yang datang ke Jakarta pada 14 Januari 1974. Tanaka datang ke Jakarta untuk membahas investasi Jepang di Indonesia.
"Intinya Malari itu test cast kekuasaan Pak Harto sebagai presiden di internal TNI. Elite TNI lama era Soekarno banyak yang tidak suka dengan politik ekonomi Orba yang terlalu liberal," ujar Erwin.
Pascakejatuhan Sukarno mahasiswa memiliki hubungan dekat petinggi TNI. Acapkali, kata Erwin, demonstrasi yang mereka lakukan bertujuan pragmatis demi kepentingan individu.
"Saat itu ada tren mahasiswa yang rajin demonstrasi akan dipanggil intelejen Soeharto untuk mendapat beasiswa atau konsesi ekonomi tertentu," ujarnya.
Terlepas dari berbagai teori tersebut, Erwin menyatakan peristiwa Malari mengandung pelajaran berharga bagi TNI dalam menjaga demokrasi di Indonesia. Menurut dia, TNI mesti bersikap profesional sebagai penjaga keamanan dan ketertiban.
Sedangkan para mahasiswa, imbuh Erwin, mesti bersikap independen dalam menjalankan aksi demonstrasinya. "Jangan menyeret-nyeret tentara untuk terlibat dalam gerakan mereka," katanya.