Ia adalah tanda kemarahan yang bertahan nyaris dua abad. Di sebuah bangku sederhana yang teronggok di ruangan sekitar enam kali enam meter di sebuah bangunan di Jalan Diponegoro 1, Magelang, Jawa Tengah. Ada lemari kaca membingkai kursi untuk seorang dari kayu jati tersebut. Gagang kursi tersebut agak melebar. Di bagian kanan gagang kursi tersebut, terlihat tanda kemarahan itu. Tampak tiga guratan yang masih meninggalkan bekas.
Guratan itu, kisahnya ditorehkan kuku-kuku Pangeran Diponegoro, panglima Perang Jawa. Ia dikabarkan menorehkan tanda itu pada 28 Maret 1830. Geram karena mengetahui sedang dijebak dalam perundingan dengan kolonial Belanda di bangunan yang kini jadi museum tersebut.
"Perundingan tidak menemui titik temu, saking kesalnya Diponegoro dengan Belanda, ada guratan-guratan tangannya," kata sejarawan Museum Pengabadian Diponegoro di Magelang, Sunaryo, kepada Republika, pekan lalu.
Dalam ruangan itu, tersimpan juga jubah putih besar yang dahulu digunakan Diponegoro. Ada pula satu bale kayu yang menjadi tempat Diponegoro shalat selama penahanan. Kemudian, ada taqrib atau Alquran tulisan tangan yang disebut ditulis oleh Diponegoro.
Kejadian di lokasi itu adalah rentetan yang bermula pada 1825. Diponegoro, bangsawan Keraton Yogyakarta yang bernama kecil Mustahar saat itu disebut tak terima bahwa jalan yang dibangun Belanda menyigar makam leluhurnya di Tegalrejo. Namun, kejadian pemicu itu sedianya hanya bagian kecil dari rerupa kebijakan kolonial yang bikin kesal pribumi, di antaranya soal pajak jalan, pajak pertanian, dan penetrasi ekonomi etnis lain.
Terlepas dari alasan mula perlawanannya, Diponegoro yang dianggap memberontak kemudian dikepung Belanda di kediamannya pada pertengahan 1925. Ia berhasil melarikan diri dan memimpin pemberontakan hebat dengan dukungan penuh dari rakyat, kalangan ulama, serta kaum bangsawan.
Salah satu ulama yang setia mendampingi Diponegoro adalah Kiai Mojo. Ulama itu selalu menegaskan, perang Diponegoro atau perang Jawa adalah jihad yang harus dilakukan semua umat Islam melawan kolonial Belanda. Diperkuat dengan Diponegoro yang dari kecilnya dikenal sebagai Muslim taat, Islam memang jadi pelecut semangat yang hebat di sisi pribumi.
Dari Yogyakarta, perang itu meluas ke Banyumas, Pekalongan, Semarang, Rembang, Madiun, dan daerah-daerah lain. Dihitung dengan skala apa pun, perang tersebut kemudian jadi perlawanan terbesar melawan Belanda di Tanah Jawa.
Ia hanya bisa diakhiri dengan pembantaian dan tipu daya terhadap Diponegoro di Magelang tersebut. Pemerintah Hindia-Belanda menelan kerugian telak akibat peperangan melawan Pangeran Diponegoro. Diperkirakan pemerintah Hindia-Belanda harus menggelontorkan sekitar 20 ribu gulden untuk membiayai perang ini.
Selain itu, dalam segi pasukan, Hindia-Belanda juga harus kehilangan sekitar 7.000 pasukannya. Pasukan pribumi yang wafat pada perang ini pun tak sedikit, yakni sekitar 20 ribu orang, sedangkan warga sipil Jawa yang jadi korban diperkirakan mencapai 200 ribu jiwa.
Menurut sejarawan Inggris Peter Carey yang puluhan tahun meneliti Perang Diponegoro, perjuangan sang pangeran menandakan batas zaman. Sebelum konflik itu pecah pada 1825, hubungan antara pihak kolonial Eropa, termasuk Belanda, dan para raja Jawa cenderung setara.
Perang-perang yang terjadi merupakan suksesi para penguasa lokal, yang di dalamnya Belanda terlibat dengan menjalankan politik adu domba (devide et impera). Caranya ialah bekerja sama dengan seorang ningrat tertentu untuk menduduki tampuk kekuasaan sembari memusuhi ningrat lainnya.
Sejak berakhirnya Perang Diponegoro pada 1830, masuklah Nusantara ke tatanan kolonialisme seutuhnya. Belanda menjadikan raja-raja Jawa hanyalah bagian dari birokrasi kolonial. Hal ini terutama sejak diberlakukannya sistem tanam paksa yang dipelopori Gubernur Jenderal Van den Bosch yang menyengsarakan rakyat Nusantara.
Yang juga berubah sejak Perang Jawa adalah hubungan kolonial Belanda dengan Islam. Tanda Islamphobia mulai muncul secara lebih leluasa semenjak berakhirnya perang Diponegoro (1830).
"Hal ini dilakukan oleh pemerintah kolonial karena merasa ketakutan terhadap kekuatan Islam yang besar, yang sewaktu-waktu bisa memicu perang berskala luas,'' kata Doktor Sejarah dari Universitas Indonesia Didik Pradjoko kepada Republika beberapa waktu lalu.
Dengan kata lain, bersamaan dengan berakhirnya Perang Jawa maka secara sistematis pula dimulailah berbagai kajian tentang Islam oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda. Pada akhir-akhir abad ke-19, hipotesis yang mulai baku adalah bila kekuatan Islam dapat bersatu dengan kekuatan bangsawan lokal maka ini benar-benar akan memunculkan persoalan serius bagi keberadaan posisi kekuasaan kolonial Belanda.
Kekhawatiran itu juga dikentalkan karena pengaruh Islam tak kunjung surut meski Perang Jawa sudah lama usai. Pemberontakan yang dipimpin ulama, guru sufi, maupun mereka yang baru datang dari Tanah Suci meledak juga di Banten, Padang, dan Aceh.