Rabu 25 Nov 2015 07:00 WIB

Menteng Pusat Kekuasaan

Noordwijk Kawasan Elite Masa Kolonial
Foto: Perpusnas
Noordwijk Kawasan Elite Masa Kolonial

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Alwi Shahab

Kawasan Menteng, Jakarta Pusat, sejak 15 tahun lalu ditetapkan Pemda DKI Jakarta sebagai Lingkungan Pemugaran atau Kawasan Cagar Budaya. Artinya, bangunan-bangunan di kecamatan Jakarta Pusat itu dilarang untuk diubah wajah maupun bentuknya, apalagi diruntuhkan untuk diganti gedung baru.

Namun, kenyataannya banyak bangunan di Menteng yang telah berubah fungsi. Kemacetan makin menjadi dan hampir tak kenal waktu. Hampir hilang julukan kota taman seperti ketika pertama kali dibangun pada 1920-an dengan meniru Kota Amsterdam, ketika warga Barat makin berjubel ke Batavia.

Menteng, sejak masa kolonial, tetap merupakan kawasan elite. Banyaknya permukiman baru modern di Jakarta tidak menghilangkan pamor Menteng. Bung Karno, Bung Hatta, Pak Harto, Megawati, Yusuf Kalla, dan masih banyak nama lainnya tinggal di kawasan ini. Tidak terhitung keputusan penting yang diambil dari tempat ini. Termasuk, membuat naskah proklamasi yang dilanjutkan dengan proklamasi kemerdekaan.

Pada masa Belanda di Jakarta nama-nama jalan terdiri atas bulevar atau jalan lebar di tengah jalur hijau. Kemudian, ada laan -- jalan penghubung antara jalan ramai. Seperti Tamarindelaan atau Jl Asem Lama yang kemudian diganti lagi menjadi Jl KH Wahid Haswyim. Ada juga straat, jalan raya yang banyak terdapat kediaman bisnis dan perdagangan. Seperti Sluisburg Straat Jalan Pintu dan Pasar Baru Straat.

Selain itu ada weg, yakni nama jalan untuk daerah permukiman. Seperti Javaweg (kini Jl HOS Tjokroaminoto). Sedang gang menjadi nama jalan tidak bisa dimasuki mobil. Seperti Gang Kernolong (kini Jl Kramat IV), Jakarta Pusat. Rupanya di masa Belanda hanya merupakan jalan kecil.

Gang banyak dipakai sebagai nama jalan di kampung-kampung. Seperti di Kwitang, Jakarta Pusat, memiliki puluhan nama gang. Terutama diambil dari nama tokoh atau peristiwa yang pernah terjadi di tempat tersebut.

Park adalah nama untuk taman kota. Seperti Deca Park di salah satu sudut utama Monas. Prinsen Park (kini Lokasari di Manggabesar), Jakarta Barat. Dan, Hertog Park di depan Deplu, Pejambom, Jakarta Pusat.

Di Menteng, pada masa kolonial, hanya terdapat tiga boulevaard, yakni jalan lebar dengan taman di tengahnya. Di Jl Thamrin dan Jl Sudirman, ketika itu masih merupakan kampunmg dan belum terdapat jalan raya. Jl Imam Bonjol, tempat Gedung KPU, dulu bermama Nassau Boulevaard.Sedangkan Jl Diponegoro yang merupakan satu arah hingga ke RSCM bernama Oranye Boulevaard.

Belanda menamakan dirinya sebagai wangsa oranye. Tim sepakbola Belanda berkostum warna ini. Sedang Jl Teuku Umar, berdekatan dengan kedua jalan raya itu, bernama Van Heutsz Boulevaard. Taman Surapati yang berhadapan dengan gedung Bappenas dulu bernama Burgermeester Plein -- mengabadikan nama wali kota Batavia pertama (1905). 

Penggantian nama jalan protokol dengan nama pahlawan itu sangat tepat. Jl Diponegoro mengabadikan nama pahlawan yang melakukan pemberontakan dalam Perang Jawa (1820=1825). Akibat perlawanan Diponegoro dulu Belanda dibuat kalang kabut dan mengeluarkan biaya sangat besar untuk menindasnya.

Kemudian Belanda membangun De Javasche Bank (kini BI) untuk menarik uang dari masyarakat. Diponegoro secara licik ditangkap di Magelang (Jateng), ditipu saat perundingan. Sedang Imam Bonjol adalah pemimpin perang paderi yang ditakuti Belanda (1825-1830).

Dari Jl Imam Bonjol berbelok ke arah kiri melewati Taman Surapati, terdapat Jl Teuku Umar. Seluruh rumah di sini sudah berubah, kecuali kediaman almarhumn Jenderal Besar Nasution yang tetap merupakan bangunan lama. Teuku Umar adalah pahlawanan Aceh yang menyatakan jihad fi sabillah melawan Belanda.

Sedangkan Van Heutz, nama jalan itu sebelumnya, adalah pahlawan Belanda yang dianggap dapat mengakhiri perang Aceh hingga mempersatukan Hindia Belanda. Untuk menghormati Van Heutz dibangun patung di depan Bouwploegweg (kini Jl RP Soeroso). Van Heutz digambarkan tak henti-hentinya memandang memancarkan kebajikan. Setelah kemerdekaan, para pemuda pejuang menghancurkan patung yang terbuat dari beton tersebut.

Sedangkan Burgermeesterplen, yang dibangun untuk mengenang wali kota Batavia, diganti menjadi Taman Surapati. Surapati adalah pahlawan nasional, yang semula budak dari Bali. Dia pernah ditahan di penjara bawah tanah  di stadhuis yang kini menjadi Museum Sejarah Jakarta.

Berdekatan dengan Menteng terdapat Pasar Rumput di Jakarta Selatan. Pada masa kolonial bernama Jan Pieterzoon Coenweg. Kini menjadi Jl Sultan Agung, raja Mataram yang pernah dua kali menyerang JP Coen (1628 dan 1629). Coen sendiri mati setelah tiga hari penyerangan itu, karena kolera.

Pada masa kolonial di Menteng terdapat dua buah gereja, masing-masing Gereja Theresia di Jl Theresiakerk (kini Jl H Agus Salim) dan Gereja Petrus di Jl Sunda Kalapa. Kala itu, di Batavia, Belanda melarang membangun masjid di tepi jalan raya dan di daerah pemukiman mereka.

Sedikit di luar Menteng di Jl Tangkubanprahu, Sayid Ali bin Ahmad Shahabuddin membangun sebuah masjid yang masih berdiri hingga kini. Setelah G30S, atas inisiatif HMI, berdiri Masjid Sunda Kalapa. Kemudian berturut-turut berdiri Masajid Cut Nyak Dien dan Masjid Teuku Cik Ditiro.

Pada masa penjajahan masjid-masjid berada di kampung-kampung, sementara puluhan gereja dibangun dengan megah di jalan-jalan besar. Inilah yang mendorong Bung Karno, Bung Hatta dan tokoh masyarakat Islam, pada tahun 1950-an bertekad membangun Masjid Istiqlal.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement