Selasa 25 Jun 2024 15:11 WIB

Target 7 Persen tak Realistis, Ekonom: Fokus Genjot Daya Beli

Andil terbesar justru datang dari konsumsi atau belanja pemerintah sebesar 20 persen.

Rep: M Nursyamsi/ Red: Fernan Rahadi
Ilustrasi Pertumbuhan Ekonomi
Foto: pixabay
Ilustrasi Pertumbuhan Ekonomi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Eko Listiyanto menyebut target pertumbuhan ekonomi tujuh persen tampak tidak realistis. Eko berkaca dari rata-rata pertumbuhan ekonomi sejak era Soeharto yang cenderung berada di bawah tujuh persen. 

"Sejak era Orde Baru sampai sekarang, tanpa memasukkan saat krisis 98 dan pandemi pada 2020, sebetulnya secara rata-rata di pemerintahan mana pun tidak bisa tumbuh tujuh persen," ujar Eko dalam kajian bertajuk "Presiden Baru, Persoalan Lama" di Jakarta, Selasa (25/6/2024).

 

Eko menyampaikan Indonesia sempat menikmati pertumbuhan ekonomi sebesar 10 persen pada era Orde Baru. Namun hal tersebut tidak berlangsung lama. 

 

Alih-alih bermimpi mencapai pertumbuhan ekonomi sebesar tujuh persen, Eko menyarankan pemerintah berpikir realistis dengan menjaga pertumbuhan ekonomi di angka lima persen. 

 

"Kalau enam persen masih oke, tapi dengan formulasi kebijakan hanya seperti saat ini maka mempertahankan lima persen saja sudah agak susah dalam beberapa waktu terakhir ini. Indef bahkan hanya memproyeksikan 4,8 persen," ucap Eko. 

 

Eko memandang pesimistis tersebut cukup beralasan mengingat daya beli masyarakat masih cukup tertekan. Meski tetap mendominasi pertumbuhan ekonomi pada kuartal I dengan 41 persen, Eko menyebut andil terbesar justru datang dari konsumsi atau belanja pemerintah sebesar 20 persen. 

 

"Yang mendorong itu konsumsi pemerintah hampir 20 persen dalam tiga bulan pertama. Belum pernah terjadi sepanjang sejarah. Ini belanja tercepat dan tertinggi, biasanya hanya 8-10 persen, tapi sekarang dua kali lipat," sambung Eko. 

 

Eko mengatakan konsumsi rumah tangga terbilang melesu, bahkan saat momentum lebaran. Eko menilai hal ini merupakan salah satu indikator melemahnya daya beli masyarakat yang biasanya melesat saat lebaran. 

 

"Konsumsi rumah tangga saat lebaran tidak sampai lima persen, biasanya tumbuh 40 persen. Untuk pertama kalinya, ketika saat momentum lebaran, biasanya konsumsi di atas lima persen, inflasi akan naik, tapi itu tidak terjadi," lanjut Eko.

 

Eko menyampaikan penggunaan pendapatan masyarakat pada kuartal I terfokus pada konsumsi, menabung, dan cicilan pinjaman. Eko menyebut terdapat kenaikan pinjaman pada periode April dan Mei lalu. 

 

"Yang naik itu cicilan pinjaman, saya menduga saat lebaran itu pada pinjam, semoga tidak pinjol (pinjaman online). Data ini cukup menggambarkan kalau ini ada problem di daya beli," kata Eko.

 

Kepala Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan, Febrio Nathan Kacaribu mengatakan pemerintah dan DPR sedang menggodok Rancangan APBN (RAPBN) 2025. Febrio menyebut APBN 2025 tampak istimewa lantaran dibuat pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) untuk pemerintahan Prabowo Subianto.

 

"RAPBN ini adalah RAPBN transisi. Arahan Pak Jokowi jelas, masukkan semua visi misi presiden terpilih ke dalam APBN 2025. Ini yang sedang kita kerjakan bersama antara pemerintah dengan DPR," ujar Febrio.

 

Febrio menyampaikan proses RAPBN 2025 saat ini memasuki tahapan pembahasan dengan Badan Anggaran DPR. Febrio mengungkapkan poin pembahasan meliputi pembicaraan pendahuluan penyusunan RAPBN 2025.

 

"Kita menyusun ini tentu di tengah keunikannya, kita ingin terus melakukan apa yang dinamakan keberlanjutan sehingga tidak terdisrupsi proses ekonomi di dalam proses APBN, ini akan baik untuk perekonomian kita untuk 2024 maupun 2025," kata Febrio.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement