Jumat 12 Jul 2024 13:59 WIB

Peneliti Ungkap Penyebab Penjualan Mobil Cenderung Stagnan di Masa Pemerintahan Jokowi

Mobil bekas menjadi pilihan ketika harga yang baru semakin tinggi

Rep: Ichsan Emrald Alamsyah/ Red: Ichsan Emrald Alamsyah
Diskusi Solusi Mengatasi Stagnasi Pasar Mobil di Jakarta, Rabu (10/7/2024).  Plt Dirjen Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi dan Elektronika (ILMATE) Kemenperin Putu Juli Ardika (kedua dari kiri), usulkan pemberian insentif fiskal berupa pajak penjualan atas barang mewah ditanggung pemerintah (PPnBM DTP) untuk pembelian mobil.
Foto: dok Kemenperin
Diskusi Solusi Mengatasi Stagnasi Pasar Mobil di Jakarta, Rabu (10/7/2024). Plt Dirjen Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi dan Elektronika (ILMATE) Kemenperin Putu Juli Ardika (kedua dari kiri), usulkan pemberian insentif fiskal berupa pajak penjualan atas barang mewah ditanggung pemerintah (PPnBM DTP) untuk pembelian mobil.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Hasil riset Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia atau LPEM FEB UI menunjukkan bahwa stagnasi pasar mobil baru setidaknya disebabkan oleh dua faktor, yaitu kenaikan harga mobil serta kondisi pendapatan per kapita.

"Jadi, temuannya sudah jelas. Pertama, pendapatan per kapitanya tidak naik cukup besar, hanya tiga persen naik dalam 10 tahun terakhir, dan harga mobil naiknya juga di atas inflasi, 5-6 persen. Inflasi kita kan sekarang empat persen," kata peneliti senior dari LPEM FEB UI Riyanto di Jakarta, Selasa (9/7) malam.

Riyanto menjelaskan bahwa penjualan mobil berkaitan erat dengan faktor ekonomi seperti harga mobil, suku bunga kredit, kurs, harga bahan bakar, dan ketersediaan stok mobil. Namun, faktor yang berpengaruh paling signifikan terhadap penjualan mobil adalah harga mobil dan pendapatan per kapita.

Hanya saja berdasarkan riset yang dilakukan oleh LPEM FEB UI bekerja sama dengan Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (GAIKINDO), penjualan kendaraan cenderung stagnan semenjak 2013. Padahal tahun sebelumnya, yaitu di 2012 terjadi kenaikan penjualan yang signifikan bahkan mendekati penjualan satu juta kendaraan.

"Penjualan kendaraan menurun di era Jokowi, yaitu hanya 5,6 persen, alasannya karena pendapatan per kapita jauh dari Harga kendaraan. Apalagi struktur ekonomi Indonesia yang di drive oleh belanja pemerintah dan konsumsi public,"tutur dia.

LPEM UI, menurut dia, melaporkan pendapatan per kapita hanya naik rata-rata 3,65 persen per tahun dari 2013 hingga 2022. Hanya saja pertumbuhan penjualan mobil selama kurun itu menurun rata-rata 1,64 persen per tahun. Sementara periode 2000 hingga 2013 pendapatan per kapita naik rata-rata 28,26 persen per tahun dan penjualan mobil meningkat 21,23 persen per tahun.

Peningkatan penjualan mobil bekas, terutama di Jawa, juga berpengaruh terhadap pertumbuhan penjualan mobil baru. Pada tahun 2022, sekitar 65 persen pembeli mobil di Jawa memilih mobil bekas, antara lain karena beda harga yang semakin lebar antara mobil baru dan mobil bekas.

Ketika harga mobil baru semakin tinggi dan pendapatan per kapita kenaikannya tidak sebanding, mobil bekas menjadi pilihan bagi yang menginginkan kendaraan dengan harga terjangkau. "Pilihannya itu mungkin karena pendapatannya tidak naik tinggi, harga mobil barunya juga cukup besar naiknya, pilihannya akhirnya mobil bekas," kata Riyanto.

"Apalagi, pasar mobil bekas di 10 tahun terakhir ini pembelinya itu tidak beli kucing dalam karung. Sekarang cacatnya dikasih tahu sekarang, digaransi. Jadi sudah relatif transparan," kata dia.

Stagnasi dalam penjualan mobil baru, menurut pendapat Riyanto, dapat diatasi menggunakan pendekatan jangka panjang dan jangka pendek.

Dalam jangka panjang, peningkatan pendapatan per kapita dapat dicapai melalui re-industrialisasi untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi.

"Meningkatkan nilai tambah dalam perekonomian dan pertumbuhan ekonomi minimal enam persen dengan re-industrialisasi agar porsi sektor manufaktur terhadap PDB bisa mencapai 25 persen hingga 30 persen, mendorong pendapatan per kapita kelompok menengah ke atas naik ke kelas makmur," Riyanto menjelaskan.

Solusi jangka pendek yang dapat dijalankan untuk mengatasi stagnasi dalam penjualan mobil, menurut dia, antara lain penurunan komponen pajak pada harga mobil.

Komponen pajak saat ini mencapai 40 persen dari harga off the road mobil. Penurunan pajak bisa membuat harga mobil menjadi lebih terjangkau bagi konsumen.

Selain itu, keberhasilan relaksasi pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) tahun 2021 dalam mendorong peningkatan penjualan mobil merupakan contoh bagaimana kebijakan fiskal yang tepat dapat mendorong pertumbuhan pasar.

Riyanto juga mengemukakan perlunya stimulus fiskal agar kelompok menengah ke atas yang hampir masuk ke kategori makmur dapat membeli mobil baru, misalnya dengan insentif pajak untuk kendaraan mobil ramah lingkungan (Low Cost Green Car/LCGC) dan 4x2 low.

Di samping itu, dia menyarankan penyegaran kembali program mobil murah pemerintah serta mendorong efisiensi produksi mobil dan pemberian diskon dalam pembelian mobil.

"Nah untuk produsen ini sudah seberapa efisien dalam produksi? Apakah mungkin pemberian diskon? Pameran dan pemberian diskon itu kan program untuk mendorong pasar sebetulnya," katanya.

sumber : Antara
BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement