REPUBLIKA.CO.ID, MALANG -- Universitas Brawijaya dan Bulan Sabit Merah Indonesia (BSMI) meneken kerjasama untuk program pendidikan dokter spesialis (PPDS) mahasiswa asal Palestina di Kampus Brawijaya, Malang, Jawa Timur, Sabtu (13/7/2024). Kerjasama tersebut dilakukan dalam bentuk pemberian beasiswa pendidikan kepada dr Ikram Medhat Abbas, dokter asal Palestina, yang baru mengungsi dari Gaza.
Penandatangan tersebut dilakukan oleh Sekretaris Universitas Brawijaya Dr Tri Wahyu Nugroho dan Sekretaris Jenderal BSMI Muhammad Rudi. MoU tersebut berlangsung disela acara seminar internasional Solidarity and Humanity, Standing Together for Palestine yang dihadiri oleh berbagai pembicara dari Palestina, Malaysia dan Indonesia.
Ketua Tim UB-Palestine Solidarity Prof Setyo Widagdo mengungkapkan, jalinan kerjasama tersebut merupakan salah satu bentuk Tridharma Perguruan Tinggi yakni pendidikan dan pengajaran, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat.
Menurut Setyo, Program UB-Palestine Solidarity yang diinisiasi oleh Universitas Brawijaya sudah dijalankan sejak Desember 2023. Lewat program tersebut, pihak universitas telah melakukan beberapa program seperti membantu mahasiswa Fakultas Teknik dari Palestina yang overstay, melakukan penggalangan dana senilai berkisar Rp 700 juta, hingga melakukan penyuluhan, kampanye, dan pernyataan sikap atas isu Palestina.
Sementara itu, Ketua Umum Dewan Pimpinan National (DPN) BSMI Muhamad Djazuli Ambari berharap, acara tersebut menjadi momentum bagi kampus-kampus lain untuk memperjuangkan Palestina lewat program akademis. Dia mengungkapkan, UB bisa menjadi pelopor dalam mengorganisasikan kampus-kampus di seluruh dunia untuk berkontribusi dalam memberikan program pendidikan bagi Palestina.
Penerima program beasiswa dokter spesialis, dr Ikram Medhat Abbas, menyampaikan apresiasinya terhadap program tersebut. Ibu satu anak yang hendak mengambil program obsgyn itu mengungkapkan, dia menyelesaikan pendidikan S1 Kedokteran di Gaza, Palestina. Sejak perang, rumahnya sudah hancur. Keluarga dari pihak suaminya pun sudah menjadi syuhada akibat dibom Israel.
Dia meninggalkan Gaza bersama ayah, ibu dan anak semata wayangnya, Hayya. Ikram bahkan kehilangan keluarga dari suaminya yang tewas akibat dibom oleh Israel. Dengan suara bergetar, Ikram mengaku ingin berkomunikasi dengan bahasa Indonesia agar bisa menyampaikan perasaan yang sebenarnya untuk berterimakasih atas beasiswa tersebut.
"Di Palestina saya sudah menyaksikan bantuan-bantuan dari Indonesia. Bantuan medis atau makanan. Kami terasa senang karena sudah kehilangan semuanya. Kami sangat berterimakasih dan terharu tentang bantuan ini,"ujar Ikram.
Dia pun merasa Indonesia merupakan negara kedua baginya setelah Palestina. Menurut Ikram, masyarakat Indonesia yang mengundang mereka pada saat mereka terkena musibah. "Saya harap kita bisa bersama-sama tetap berjuang sampai sholat bersama di Masjidil Aqsa,"ujar dia.