REPUBLIKA.CO.ID, TEL AVIV – Militer Israel pada Selasa mengatakan mereka akan mulai mengirimkan draf wajib militer kepada orang-orang Yahudi ultra-Ortodoks pekan depan depan. Pengumuman itu memicu kemarahan komunitas tersebut yang kemudian turun ke jalan dan melakukan unjuk rasa.
Ratusan pria ultra-Ortodoks memblokir jalan raya utama di Israel tengah selama beberapa jam pada hari Selasa di kota ultra-Ortodoks Bnei Brak, dekat Tel Aviv. Polisi yang menunggang kuda mendorong massa mundur, dan petugas menyeret pengunjuk rasa menjauh. Polisi mengatakan sembilan orang ditangkap.
“Ini (tentara Israel) adalah tentara yang melakukan indoktrinasi terhadap agama,” kata Yona Kay, seorang pengunjuk rasa dikutip the Associated Press. “Oleh karena itu anak-anak kami, anak laki-laki kami – dan saya memiliki seorang putra di sini – tidak akan bergabung dengan tentara, tidak satu menit pun.”
Pada Senin malam, puluhan kelompok ultra-Ortodoks mengepung mobil para komandan senior militer yang sedang bertemu dengan para rabbi setempat di Bnei Brak. Mayjen David Zini dan Brigjen Jenderal Shay Tayeb, dua perwira tinggi, datang ke lokasi itu untuk membahas unit ultra-Ortodoks di angkatan bersenjata. Massa mengancam para petugas, menyebut mereka “pembunuh” dan melemparkan botol, menurut media Israel.
Pengumuman perekrutan tersebut menyusul perintah penting Mahkamah Agung bagi para pemuda ultra-Ortodoks untuk mulai mendaftar wajib militer. Berdasarkan pengaturan politik yang sudah lama berlaku, laki-laki ultra-Ortodoks dikecualikan dari wajib militer, yang berlaku bagi sebagian besar warga Israel.
Pengecualian tersebut menimbulkan ketaksukaan di kalangan masyarakat umum di Israel, terutama setelah lebih dari sembilan bulan serangan di Gaza menewaskan ratusan prajurit IDF. Pemanggilan militer ini merupakan awal dari proses wajib militer selama berbulan-bulan yang mungkin sulit dilaksanakan jika ada penolakan dalam skala besar untuk mematuhinya.
"We rather die than enlist in the army"
Israeli occupation forces dismantle a protest by Haredi Jews in occupied Jerusalem who are demonstrating against the government's new regulations mandating military service for them as well.
Ultra-Orthodox Jewish communities are flooding… pic.twitter.com/UHV4JfPnTN
— Quds News Network (QudsNen) July 16, 2024
Pihak militer tidak mengatakan kapan mereka memperkirakan orang-orang ultra-Ortodoks akan mulai bertugas atau berapa banyak yang akan direkrut. Pengadilan memutuskan bahwa sistem pengecualian, yang memungkinkan umat beragama untuk belajar di seminari Yahudi sementara yang lain dipaksa untuk bertugas di militer, adalah tindakan yang diskriminatif.
Para pemimpin ultra-Ortodoks mengatakan studi agama sama pentingnya bagi masa depan negara dan cara hidup mereka yang sudah turun-temurun akan terancam jika pengikut mereka wajib militer. Sejarahnya, kelompok ultra-Ortodoks Yahudi adalah penolak Zionisme, namun belakangan mereka mulai berkompromi dengan pemerintahan Israel.
Pemerintahan Netanyahu mengandalkan dukungan partai-partai ultra-Ortodoks yang menentang perubahan sistem. Para pemimpin agama belum mengatakan langkah apa yang akan mereka ambil.
Jika mereka meninggalkan koalisi yang berkuasa, pemerintah kemungkinan besar akan terguling dan negara tersebut akan diikutsertakan dalam pemilihan umum awal dua tahun lebih cepat dari jadwal. Upaya-upaya di masa lalu untuk merekrut orang-orang ultra-Ortodoks telah memicu protes massal di komunitas ultra-Ortodoks.
Mantan Kepala Rabi Yitzhak Yosef terdengar dalam video yang diperoleh Ynet yang mengatakan bahwa "siapapun yang menerima draf wajib militer harus merobeknya dan menolak." Ia menambahkan, siapapun yang menolak dan dijebloskan ke penjara akan didampingi oleh kepala yeshiva-nya.