Senin 29 Jul 2024 10:12 WIB

MUI Berfatwa tentang Tambang, Berikut Persyaratan Agar tak Dikatakan Haram

Pelaksanaan tambang harus dinilai ramah lingkungan.

Rep: Fuji Eka Permana/ Red: A.Syalaby Ichsan
Aktivitas tambang keruk tanah di Desa Serut, Gedangsari, Yogyakarta. (Ilustrasi)
Foto: Dok Republika
Aktivitas tambang keruk tanah di Desa Serut, Gedangsari, Yogyakarta. (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan Fatwa Nomor 22 Tahun 2011 tentang Pertambangan Ramah Lingkungan. Fatwa MUI ini ditandatangani Ketua Komisi Fatwa MUI KH Hasanuddin AF dan Sekertaris Komisi Fatwa MUI KH Asrorun Niam Sholeh.

KH Asrorun Niam Sholeh yang saat ini menjadi Ketua MUI Bidang Fatwa mengingatkan kembali ketentuan hukum terkait Fatwa MUI tentang Pertambangan Ramah Lingkungan.

Baca Juga

Kiai Niam mengungkap bagaimana ketentuan hukum dalam fatwa tersebut. Pertama, pertambangan boleh dilakukan sepanjang untuk kepentingan kemaslahatan umum, tidak mendatangkan kerusakan, dan ramah lingkungan.

"Kedua, pelaksanaan pertambangan sebagaimana dimaksud (dalam ketentuan hukum pertama) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut," kata Kiai Niam kepada Republika, Senin (29/7/2024).

Kiai Niam menyampaikan, persyaratannya di antaranya harus sesuai dengan perencanaan tata ruang dan mekanisme perizinan yang berkeadilan. Dia menjelaskan, harus dilakukan studi kelayakan yang melibatkan masyarakat pemangku kepentingan (stakeholders). 

Pelaksanaan tambang pun dinilai harus ramah lingkungan (green mining). Dia menjelaskan, tambang tidak boleh menimbulkan kerusakan dan pencemaran lingkungan serta perlu adanya pengawasan (monitoring) berkelanjutan. Melakukan reklamasi, restorasi dan rehabilitasi pascapertambangan.

"Pemanfaatan hasil tambang harus mendukung ketahanan nasional dan pewujudan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan amanat UUD, dan memperhatikan tata guna lahan dan kedaulatan teritorial," ujar dia.

Kiai Niam melanjutkan penjelasannya, ketentuan hukum ketiga, pelaksanaan pertambangan sebagaimana dimaksud (ketentuan hukum pertama) wajib menghindari kerusakan (daf’u al-mafsadah), yang antara lain, menimbulkan kerusakan ekosistem darat dan laut, dan menimbulkan pencemaran air serta rusaknya daur hidrologi (siklus air).

Pengelola juga dinilai wajib menghindari kerusakan seperti menyebabkan kepunahan atau terganggunya keanekaragaman hayati yang berada di sekitarnya, menyebabkan polusi udara dan ikut serta mempercepat pemanasan global, mendorong proses pemiskinan masyarakat sekitar, dan mengancam kesehatan masyarakat.

Ketentuan hukum kelima, kegiatan pertambangan yang tidak sesuai dengan persyaratan sebagaimana (ketentuan hukum kedua dan ketiga) serta tidak mendatangkan kesejahteraan bagi masyarakat sekitar, hukumnya haram."Keenam, mentaati seluruh ketentuan peraturan perundang-undangan untuk mewujudkan pertambangan ramah lingkungan hukumnya wajib," ujar Kiai Niam.

 

Tujuh syarat tentang tambang ramah lingkungan..

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement