Senin 05 Aug 2024 18:58 WIB

Miris, Sentimen Anti Imigran Eropa Masih Tinggi Padahal Berkontribusi Positif pada Ekonomi

Sebagian besar negara Eropa melihat migran dapat angkat stabilitas ekonomi jangka pan

Rep: Dian Fath Risalah/ Red: Lida Puspaningtyas
Petugas kepolisian bentrok dengan massa aksi saat terjadi kerusuhan demonstrasi anti-imigrasi di area Holiday Inn Express di Rotherham, Inggris, Ahad (4/8/2024).
Foto: Danny Lawson/PA via AP
Petugas kepolisian bentrok dengan massa aksi saat terjadi kerusuhan demonstrasi anti-imigrasi di area Holiday Inn Express di Rotherham, Inggris, Ahad (4/8/2024).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kerusuhan anti imigran dan anti Islam yang merebak di Inggris menjadi yang terburuk dalam 13 tahun terakhir. Sentimen sayap kanan kembali pecah di tengah berbagai kebijakan pemerintah Eropa yang mulai 'menerima' dampak positif dari migrasi 'penduduk asing' ke wilayah.

Islam memang bukan agama terbesar di Eropa. Namun, jumlah pemeluknya diprediksi bakal terus meningkat seiring waktu, beberapa diantaranya merupakan pencari suaka lantaran konflik di negara asalnya.

Baca Juga

Dikutip dari Euronews, berdasarkan laporan resmi, hampir 3,5 juta orang bermigrasi ke Eropa pada tahun 2022 sebagai pengungsi dengan status suaka. Warga Suriah dan Afghanistan masih mempertahankan rekor menjadi kelompok pencari suaka terbesar di blok tersebut.

"Lonjakan migrasi baru-baru ini yang disebabkan oleh perang dan ketidakstabilan berarti mereka yang mencari perlindungan sebagai migran, pengungsi atau pencari suaka memengaruhi lanskap sosial ekonomi Eropa dan negara-negaranya dalam lebih dari satu cara," tulis Analis ekonomi Osama Rizv dikutip dari Euronews Senin (5/8/2024).

Menurut Badan Suaka Uni Eropa, ada sekitar 100 ribu aplikasi diajukan pada tahun 2023. Statistik Organisasi Internasional untuk Migrasi juga menunjukkan sebanyak 213.896 migran mencapai Eropa pada tahun 2022.

"Migran dari beberapa negara Afrika seperti Aljazair dan Libya juga dilaporkan mencari perlindungan di Eropa," ungkapnya.

Dengan masuknya banyak migran setiap tahunnya, banyak negara Eropa yang mengevaluasi kembali kebijakan migrasi mereka untuk mempertimbangkan tekanan politik dan potensi konflik dengan warga negara mereka sendiri. Namun, tak bisa dipungkiri peningkatan output domain fiskal pun terjadi.

"Sebagian besar negara Eropa melihat migran sebagai imigran yang dapat mengangkat stabilitas ekonomi negara dalam jangka panjang," tulisnya.

Setiap negara Eropa pun memiliki pendekatan berbeda terhadap perpindahan besar-besaran. Setelah rekor migrasi hingga 745 ribu orang pada 2022, pemerintah Inggris mengumumkan rencana untuk memangkas jumlah migran.

Baru-baru ini, Perancis terlibat perdebatan sengit mengenai RUU yang memperketat aturan bagi migran. Jerman juga berupaya merevisi kebijakan migrasinya setelah menerima jumlah permohonan suaka terbesar pada tahun 2023 dan meskipun mendapat keuntungan dari para migran di sektor tenaga kerja.

Osama mengatakan, sebagian besar para pengungsi mencari perlindungan sebagai migran, pengungsi atau pencari suaka, yang berdampak berbeda-beda pada lanskap sosial ekonomi negara-negara Eropa. Beberapa orang bahkan menyebut para migran adalah beban bagi keuangan pemerintah lantaran tidak mampu menampung para pendatang baru ini secara finansial.

"Akibatnya dirasakan pada beban pajak jangka pendek melalui biaya sosial yang tinggi dan tingkat pengangguran yang rendah," tuturnya.

Namun, beberapa argumen menyebut para migran dapat memberikan kontribusi konstruktif terhadap manfaat fiskal dengan memasuki pasar tenaga kerja dan berkontribusi terhadap keuangan publik negara tersebut yang dapat membangun struktur modal untuk mengakomodasi peningkatan pasokan tenaga kerja. Pelibatan migran dalam sektor-sektor seperti perawatan kesehatan, konstruksi, pertanian, dan logistik pun dapat menghasilkan keuntungan yang mengurangi tekanan dan tekanan ekonomi.

"Para migran berpotensi memberikan kontribusi terhadap keuangan publik dalam bentuk pajak dan membalas manfaat yang mereka terima," tulisnya.

Dikutip dari The Independent, berdasarkan sebuah laporan  pada 2023 mengungkapkan bahwa insiden Islamofobia meningkat dua kali lipat di seluruh Inggris dalam sepuluh tahun terakhir, dengan alasan seperti meningkatnya aktivitas sayap kanan, serangan anti-muslim global, wacana politik, dan kampanye referendum Brexit. Hal tersebut juga dirasakan langsung oleh seorang pengemudi taksi bernama Zaf Iqbal. 

"Menakutkan. Sangat menakutkan karena Anda pergi ke gerombolan yang menyerang sebuah bangunan, yang merupakan tempat ibadah," ungkapnya sambil menangis saat diwawancarai The Independent dikutip Senin (5/8/2024).

Padahal, ia sudah menjalani hidupnya bertahun-tahun di sebagai warga Inggris dan sangat bergantung kehidupan ekonominya di negara yang dipimpin l Raja Charles tersebut.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement