Senin 05 Aug 2024 20:26 WIB

Pemerintah Sebut Pertalite Sampai Biosolar Bikin Polusi Udara Jakarta Makin Parah

Gas buang kendaraan menempati posisi tertinggi sebagai kontributor polusi udara.

Rep: Muhammad Nursyamsi/ Red: Ahmad Fikri Noor
Deputi Bidang Koordinasi Infrastruktur dan Transportasi Kementerian Koordinator Bidang Maritim dan Investasi Rachmat Kaimuddin.
Foto: ANTARA/Putu Indah Savitri
Deputi Bidang Koordinasi Infrastruktur dan Transportasi Kementerian Koordinator Bidang Maritim dan Investasi Rachmat Kaimuddin.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Deputi Bidang Koordinasi Infrastruktur dan Transportasi, Kemenko Maritim dan Investasi (Marves) Rachmat Kaimuddin mengatakan, kendaraan menjadi komponen utama yang menyumbang pemanasan global dan polusi udara di Indonesia. Rachmat memaparkan gas buang kendaraan menempati posisi tertinggi sebagai kontributor polusi udara di Jakarta.

"Gas buang kendaraan di Jakarta itu kalau hujan sebesar 32-41 persen, kalau kemarau itu 42-57 persen," ujar Rachmat saat diskusi bertajuk "Tekan Emisi, Perbaiki Kualitas Udara: Kebijakan Baru Subsidi BBM" di Ashley Wahid Hasyim, Jakarta, Senin (5/8/2024).

Baca Juga

Rachmat menyampaikan posisi kedua dan berikutnya ditempati pembakaran batu bara oleh PLTU maupun industri sebesar 14 persen, kontruksi dengan 13 persen, pembakaran sampah dan limbah pertanian sebesar 11 persen, aerosol sekunder seperti pembangkit sebesar 6-16 persen listrik, dan debu jalan beraspal sebesar satu persen hingga enam persen.

Rachmat mengatakan kondisi ini diperparah dengan mayoritas jenis BBM yang bersulfur tinggi. Rachmat mengatakan dunia telah menerapkan standar euro 4 dengan kandungan sulfur maksimal 50 parts per million (ppm) atau euro 5 dan 6 dengan kandungan sulfur tak lebih dari 10 ppm.

"Indonesia sebenarnya telah menerapkan untuk produksi motor wajib euro 3 dari 2013 dan mobil wajib euro 4 dari 2018. Sayangnya, kita tidak menyediakan secara masif dan hampir semua BBM kita ini kualitasnya lebih buruk dari standar euro 4," ucap Rachmat.

Rachmat menyebut tingginya kandungan sulfur pada BBM jenis Pertalite mencapai 500 ppm, Pertamax sebesar 400 ppm, Dexlite dengan 1.200 ppm, hingga biosolar yang mencapai 2.500 ppm.

"Dalam data batas sulfur bensin maksimum di berbagai negara pada 2023, Indonesia termasuk salah satu yang jelek," sambung Rachmat.

Rachmat menyampaikan Indonesia juga tercatat sebagai salah satu negara dengan konsumsi BBM tertinggi sekaligus memiliki harga BBM terendah bersama Rusia dan Arab Saudi. Bedanya, kedua negara itu merupakan produsen minyak bumi.

"Sementara kita, meski dulu sempat jadi produsen, sekarang jadi importir dan jumlahnya sangat besar setiap tahunnya," lanjut Rachmat.

Rachmat mengatakan pemerintah pun harus menanggung subsidi BBM sekitar Rp 119 triliun. Rachmat mengatakan tingginya penggunaan BBM yang tidak ramah lingkungan berdampak negatif terhadap lingkungan dan juga keuangan negara.

Rachmat mengatakan pemerintah telah mengidentifikasi persoalan tersebut dan memiliki sejumlah rencana strategis. Untuk jangka panjang, lanjut Rachmat, peningkatan penggunaan kendaraan berbasis listrik diyakini akan menjadi jawaban dalam menekan tingginya impor BBM sekaligus mengurangi polusi udara.

"Ini solusi permanen, tapi walau sangat agresif, sampai 2040 kebutuhan BBM akan naik terus baru dia turun karena market share kendaraan listrik masih kecil merangkak naik 1,7 persen tahun lalu, tahun ini mudah-mudahan lima persen," sambung dia.

Untuk solusi jangka pendek, Rachmat menyampaikan, pemerintah bakal menerapkan aturan baru terkait penggunaan BBM bersubsidi. Rachmat menyebut aturan baru yang akan diumumkan pada 1 September 2024 bertujuan model subsidi BBM yang lebih tepat sasaran.

"Ini masih digodok. Tidak ada rencana menaikkan harga BBM bersubsidi tapi berusaha menaikan kualitas BBM secara bertahap. Kita minta golongan tertentu legawa jangan pakai BBM bersubsidi, di situ yang mungkin tidak lagi boleh lah beli itu. Intinya subsidi tepat sasaran jadi urgensi agar uang negara bisa dinikmati secara tepat," kata Rachmat. 

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement