REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian PPN/Bappenas menandatangani note kesepahaman (MoU) dengan WRI (World Resources Institute) Indonesia untuk mendukung perencanaan dan kebijakan pembangunan rendah karbon dan berketahanan iklim. Salah satu bentuk kolaborasi yang akan dilaksanakan adalah penyusunan studi kerangka dan indikator transisi berkeadilan di Indonesia.
"Melalui kolaborasi ini kami bermaksud memfasilitasi upaya transisi menuju ekonomi hijau dan dekarbonisasi berbagai sektor dengan melakukan kajian ilmiah," kata Direktur WRI Indonesia Nirarta Samadhi dalam Kick-Off Meeting Penyusunan Studi Indikator Transisi Energi Berkeadilan, Selasa (6/8/2024).
Nurata mengatakan WRI juga akan berkontribusi dalam pembangunan data, berpartisipasi dalam pertemuan penyusunan kebijakan dan memberikan masukan pada rancangan dokumen kebijakan yang relevan. Beberapa topik yang saat ini sudah diinisiasi Bappenas dan WRI Indonesia meliputi penyusunan kajian akademik, perencanaan dekarbonisasi di sektor sumber daya mineral kritis khususnya di industri nikel.
"Yang kedua adalah penyusunan dan perencanaan strategi pengelolaan ekosistem karbonbiru di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil," kata Nirarta.
Ketiga, pengembangan platform nasional sistem pangan berkelanjutan. Keempat, penyusunan basis data dan potensi sumber daya air, dan kelima pengembangan kerangka kerja indikator untuk memastikan transisi yang berkeadilan.
Nirarta meminta semua pemangku kepentingan untuk turut mendukung dan berpartisipasi untuk memastikan keberhasilan inisiatif penyusunan indikator transisi berkeadilan. Nirarta mengatakan transisi berkeadilan penting untuk mencapai pembangunan berkelanjutan.
Ia menambahkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025-2045, kebijakan transisi berkeadilan menuju energi baru dan terbarukan merupakan salah satu langkah transformatif dalam lingkup penerapan energi hijau dan pembangunan rendah karbon.
Nirarta mengatakan transisi yang berkeadilan memastikan manfaat dan risiko transisi menuju masa depan yang lebih berkelanjutan dibagi secara merata di seluruh lapisan masyarakat yang terdampak. Ia menegaskan beberapa implikasi sosial dan ekonomi dari transisi sangat signifikan dan menimbulkan resiko pada berbagai kelompok.
"Sebagai contoh pengurangan lapangan kerja industri bahan bakar fosil merupakan kekhawatiran yang sangat nyata," kata Nirarta.
Ia menambahkan, transisi hijau berisiko memaksa 1,94 juta pekerja kehilangan atau berganti pekerjaan. Namun potensi lapangan kerja ramah lingkungan sama besarnya. Diperkirakan ada 2,25 juta lapangan kerja baru pada 2060.
Selain itu, langkah-langkah transisi hijau seperti percepatan penghapusan PLTU juga diperkirakan menurunkan PDB daerah-daerah yang sangat bergantung pada batu bara seperti Kalimatan Timur dan Kalimantan Selatan. "Hal ini menegaskan diperlukannya diversifikasi ekonomi dan kebijakan yang ditargetkan untuk melindungi masyarakat di wilayah-wilayah terdampak transisi tersebut," katanya.
Nirarta mengatakan untuk mendukung transisi berkeadilan, dibutuhkan adanya kebijakan perencanaan untuk menjaga dan memastikan prinsip-prinsip berkeadilan diterapkan dalam proses transisi. Ia menambahkan, indikator yang dikembangkan Bappenas dan WRI Indonesia akan membantu dan mengevaluasi dampak dari transisi energi.
"Diharapkan indikator ini dapat digunakan untuk memastikan ketercapaian upaya transisi energi berkeadilan yang tercakup dalam agenda pembangunan transformasi ekonomi pada RPJPN 2025-2045," katanya.